Chapter: Twenty Five

1.9K 560 69
                                    

"Even If I was wrong, you know I'm never wrong."
Meghan TrainorDear Future Husband

*

Suasana kafe sedang sepi siang itu. Sementara menunggu Meera yang sedang melakukan spa di salon yang tidak begitu jauh dari posisinya saat ini, Daemon mengambil kesempatan tersebut untuk merenungkan nasib sekaligus menyapa teman-teman bandnya.

Zain yang kala itu sedang "menganggur" karena grup musiknya tengah membawakan lagu versi akustik di mana dirinya tidak dibutuhkan pun akhirnya turun dari panggung untuk menghampiri dan bergabung dengan mantan vokalis Red Cobra tersebut.

"Woy, Dae. Apa kabar? Widih! Keren banget nih gaya lo, udah kayak orang penting."

Daemon tos ala band mereka yang pernah diajarkan ketika masih bergabung. "Pengawal orang penting lebih tepatnya," ralat Daemon begitu Zain sudah duduk di hadapannya.

Zain terkekeh. "Tapi lumayan, kan? Bisa bantu pengobatan ambu lo."

Daemon tersenyum getir mendengarnya. "Ambu udah nggak sakit lagi."

"Bagus dong! Udah sembuh total?"

Daemon menggeleng lesu. "Udah pergi."

"Innalillahi." Zain langsung tidak enak hati pada Daemon. "Sori, sori banget. Gue nggak tahu."

"Nggak masalah. Wajar kok karena lo nggak tahu."

Zain hanya manggut-manggut kecil. Demi menghapus atmosfer biru di antara mereka, pemuda itu pun mengganti topik pembicaraan. "Terus gimana sama kerjaan lo sekarang? Si cewek api itu macem-macem nggak?" tanya Zain, tidak mengingat nama gadis berambut merah membara yang pernah ngebet ingin menjadikan Daemon sebagai bodyguardnya.

Daemon mengembuskan napas. "Dia super bossy."

Zain berjengit mendengarnya. "Serius? Tapi iya sih kelihatan. Dia kayaknya tipe cewek yang kalau mau A harus A ya? Kebukti dari dia yang ngincar lo sebagai pengawalnya dari awal. Nggak mau yang lain."

Daemon terbeliak. "Beneran?"

Zain hanya mengangguk lantas menyilangkan kedua tangan di bawah dada. "Kayaknya lo udah ditakdirin sama dia deh. Capek-capek ngejauh, sampai berkorban buat ninggalin band cuma buat ngehindarin dia, ujung-ujungnya ..." Zain berdecak. "Gokil emang."

Mau tidak mau, Daemon meringis saat Zain kembali mengungkit momen yang tidak menyenangkan tersebut. Momen yang sangat-sangat membuat Daemon dilemma sehingga memutuskan untuk keluar dari Red Cobra. "Sori, gue benar-benar minta maaf soal itu. Kalau tahu pada akhirnya gue bakal terjebak juga sama dia, gue nggak bakal ninggalin kalian."

Zain menepuk-nepuk bahu Daemon. "Udah, udah. Takdirnya mungkin emang gini. Nggak perlu disesalin." Kemudian pemuda itu menghela napas berat. "Gue cuma kesal aja karena harus ketemu Regan lagi. Lo tahu? Sejak lo ninggalin band, si Beni sampai mohon-mohon, Man, ke dia cuma karena nggak nemuin yang suaranya pas buat vokalis Red Cobra. Dia yang ninggalin, kita yang ngemis. Cih!" Diam-diam ia melirik sewot ke arah panggung.

"Regan suaranya lebih lembut dari gue. Cocok buat aliran apa aja."

"Tapi attitudenya buruk! Dia merasa paling penting banget di band sumpah! Anak-anak harus sesuaiin kemauan dia." Lalu pandangan Zain kembali menatao Daemon dengan penuh rasa ingin tahu. "Lagian, kenapa sih lo sampai keluar dari band? Sampai rela ngejelek-jelekin suara sendiri pas ada si makhluk api. Untung cewek-cewek yang udah kepincut sama aura lo, nggak kabur gara-gara penampilan lo waktu itu. Bahkan kata Vero, dia dengar ada yang berasumsi kalau lo lagi batuk."

Daemon tertawa kecil mendengarnya. "Lo tahu jawabannya."

Zain memutar mata. "Iya, iya. Tapi ya kenapa? Maksud gue, kami semua tahu alasan lo keluar dari band karena pengin ngejauhin mereka. Lo jelek-jelekin suara waktu itu juga karena berharap si Api nggak betah lama-lama di kafe, kan? Cuma kenapa? Penyebabnya apa sampai lo segitunya alergi sama tuh cewek?"

"Nggak alergi kok," sangkal Daemon, polos.

"Itu kiasan yeh anjir!" Zain tersenyum kecut. Wajah boleh gantengan Daemon, tapi kalau otak kayaknya sih tetap seksian Zain deh.

"Sori, gue nggak bisa cerita," ucap Daemon, apa adanya. Ia memang tidak bisa mengungkapkan alasan di balik segala upaya yang telah dilakukannya untuk menjauhkan diri dari Meera. Karena jika sampai Zain tahu...

Pemuda itu juga mungkin akan membencinya.

Daemon masih mengingat pertemuan pertamanya dengan Meera di kafe setelah sekian lama berhasil menghindar. Saat itu Daemon berusaha keras mencari cara bagaimana agar kawanan gadis tersebut—atau paling tidak Meeranya seorang—pergi tanpa perlu diusir. Ide untuk membuat suaranya terdengar sumbang pun terlintas. Ia pikir, dirinya berhasil membuat Meera tidak nyaman mengingat ekspresinya yang begitu "terusik" dalam mengamati aksi panggung Red Cobra.

Tapi segala upayanya justru mengundang memori Meera secara tidak langsung untuk "merekam" sosok Daemon dan menjadikannya bermimpi akan lelaki itu.

Seandainya waktu itu ia bersikap biasa saja, mungkin Meera juga tidak peduli. Keinginannya untuk tidak terlihat, justru menarik penuh perhatian Meera. Kini, ia benar-benar terjebak dengan sosok cantik tersebut serta berbagai perasaan negatif di masa lalu yang belum pernah hilang.

"Hadeh." Zain tidak bisa memaksa. Selain karena ia tidak punya hak untuk itu, Zain juga tidak ingin membuat Daemon tidak nyaman bersamanya. Karena jujur saja, masih tersimpan harapan dalam hatinya juga Beni, Vero, dan Hugo akan kembalinya Daemon menjadi vokalis Red Cobra menggantikan Regan. "Ya udah nggak apa-apa. Cuma jangan lupa, lo boleh banget berbagi ke gue dan yang lain. Sekalipun udah nggak satu band, kita masih sobatan."

Daemon tersenyum manis. "Makasih. Tapi lo nggak bilang hal yang sebenarnya ke Meera, kan?"

"Oh iya namanya Meera. Anjir, lupa! Padahal mirip sama rambutnya." Zain geli sendiri akan kepikunannya. "Nggak kok, tenang aja. Gue bilang kalau suara lo emang jelek dari sananya, bahkan gue yang ngeluarin lo dari band. Dia nggak curiga kok."

***

"Dari mana aja sih?"

Meskipun tersembunyi, Daemon bisa melihat bibir tipis Meera di balik masker tengah mengerucut saking sebalnya. "Katanya boleh cari udara segar? Saya juga di sini bingung, Non."

Meera memutar mata seraya mendengus. "Ya jangan jauh-jauh dong! Kalau gue butuh apa-apa, kan, jadi bingung."

"Emang Non butuh apa?" Daemon refleks menyisir pandangan. "Ada yang ganggu Non Meera?"

"Iya."

"Siapa Non? Bilang saya aja."

Bukannya menjawab, Meera justru menunjuk dadanya. "Ini. Ini yang dari tadi ganggu gue. Gelisah karena lo nggak ada di dekat gue!" Kemudian gadis itu mengibas rambut merahnya. "Lain kali, jangan jauh-jauh kalau mau cari udara segar. Emangnya oksigen di sekitar gue butek?!"

Daemon mengembuskan napas. "Iya, Non," jawab lelaki itu singkat. Selain karena pasrah akan kelakuan majikannya, ia juga tengah...

Bimbang.

Sementara Meera berjalan lebih dulu ke arah di mana mobil terparkir, Daemon terdiam beberapa saat. Batinnya tengah—lagi-lagi—menampik fakta bahwa Meera menaruh perasaan padanya.

Daemon menggeleng samar. Tidak. Meera menyukai "Daemon" dalam mimpinya. Bukan Dean. Namun, hal yang sesungguhnya terjadi adalah...

Dialah Daemon. Dan Dean adalah karakter yang diciptakannya. Nama sederhana yang dicetuskan dari ambu untuknya.

👠

Bingung ya? Penasaran ya? Sabar ya.

Thank u
Love u
See u

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Where stories live. Discover now