18. Sick

9.8K 912 44
                                    

Tadi pagi saat Bian bangun ia tersadar di ruang tamu. Sekujur tubuhnya menggigil. Sepertinya ia tidur di lantai marmer tanpa selembar kain yang menjadi alasnya. Bian bahkan tidak ingat kapan dan bagaimana ia pulang. Dengan kepala seperti ditusuk-tusuk dan pusing sisa mabuk semalam, Bian berjalan sempoyongan ke kamarnya.

Setelah mandi dan membersihkan diri Bian membutuhkan waktu cukup lama untuk mendapatkan seluruh kesadarannya kembali. Sebetulnya ia tidak ingin akal sehatnya kembali, karena artinya semua beban dan permasalahan hidupnya yang susah payah ia lupakan semalam akan kembali menyerang dirinya.

Bian berguling di kasur miliknya. Matanya terpejam. Kesadarannya sudah kembali tetapi sakit kepalanya tidak hilang. Napasnya terasa panas. Ditambah hidungnya tersumbat terasa sangat tidak nyaman untuk bernapas. Bian pasti demam karena tidur di lantai dan kedinginan semalaman. Di rumah ini memang tidak ada yang peduli padanya. Bian mau tidak mau harus menelan kenyataan pahit itu.

Ponselnya berdering. Sekretarisnya menelepon. Nama Evan bertengger di layar tipis smartphonenya. Bian menggeser tombol hijau.

"Halo?"

"Halo, Van?"

"Suara lo serak begitu, sakit lo parah?" tanya Evan khawatir dari seberang telepon, yang tadi sudah dikabari Bian bahwa bosnya itu sedang sakit.

"Demam biasa," jawab Bian singkat.

"Kok bisa sakit? Padahal semalem gue sendiri yang mastiin lo nggak kenapa-kenapa dan pulang dengan selamat sama Pak Agus," ucap Evan bersungut-sungut.

Van, jangan lupa kalau di atas lo dan Pak Agus masih ada Aswari yang lebih berkuasa atas gue.

"Rapatnya gimana?" Bian enggan menanggapi Evan, tenaganya tidak ada untuk membahas yang tidak perlu. Bian memilih membahas pekerjaan.

"Jadwal pertemuan dengan klien yang seharusnya hari ini udah gue undur jadi besok. Hari ini lo istirahat aja. Jangan coba-coba mikirin kerjaan." Evan memperingatkan. Bian meski tidak becus menjadi suami, pria itu masuk ke jajaran orang yang gila kerja.

"Oke," balas Bian singkat.

"Lo mau gue anter ke rumah sakit? Atau gue hubungi Dokter Haris supaya dateng ke rumah?" tawar Evan, perhatian sekali dengan atasannya. Jelas, kan Bian yang memberinya pekerjaan dan gaji.

"Nggak usah. Gue istirahat aja paling nanti sembuh. Gue cuma demam biasa," tolak Bian. Kalau Dokter Haris sampai datang ke rumah dan tahu ia sakit, yang ada orang itu akan mengadukannya pada Pak Kusuma. Sedari kecil Ayahnya mengajarkan Bian, seorang pimpinan perusahaan itu harus cerdas menjaga kesehatan tubuhnya, jangan sampai sakit karena lalai dan menyepelekan kesehatan. Jangan sampai mati konyol. Kalau sampai Pak Kusuma tahu yang ada Bian mampus didamprat si tua bangka itu. Yang ada Bian bisa mati konyol betulan di tangan pria tua itu.

"Ya udah kalo mau lo begitu. Jangan lupa makan terus minum obat. Istirahat yang cukup. Jangan mikirin kerjaan di kantor, masih ada gue sama Devi sama anak buah lo yang lain. Masalah sama istri lo juga jangan terlalu dipikirin. Lo harus istirahat total hari ini," cerocos Evan tiada henti.

"Iya."

"Jangan lupa minum obat terus istirahat." Evan masih mengulangi. Telinga Bian bisa berdarah mendengar celotehnya. "Jangan mikirin ker-"

Bian memutus sambungan telepon. Melempar sembarang ponselnya ke sisi kasur yang lain. Evan kalau tidak digitukan tidak akan selesai-selesai. Bian sudah terlalu kehabisan energi untuk mendengarkan Evan dengan mode rewelnya.

Bian dengan tenaga yang tersisa turun ke lantai satu. Mencari Bi Suti untuk minta dibuatkan makanan. Bian harus makan sesuatu terlebih dulu sebelum minum obat.

THE WITCH OF MINE [TAMAT-LENGKAP]Where stories live. Discover now