17. I Don't Give a Fuck

9.5K 860 60
                                    

Bian sedang malas pulang ke rumah. Entah tubuhnya yang lelah atau mentalnya yang sudah tidak kuat, Bian enggan untuk pulang. Jam duabelas malam ia masih betah mengakrabkan diri di Cloud 9. Klub malam di kawasan SCBD. Satu botol Tennessee Honey sudah kosong di depannya. Satu botol lagi baru datang diantarkan oleh pria berbaju hitam putih ke mejanya. Malam ini Bian akan melupakan semua beban hidupnya. Persetan dengan dunia. He don't give a fuck.

Musik yang menulikan telinganya tidak terlalu ia dengar. Tanpa suara berisik itu pun kepala Bian sudah berisik dengan teriakan-teriakan Aswari yang membekas di otaknya. Di saat Bian ingin melupakan Aswari saja yang ada di kepalanya hanya segala tentang perempuan itu. Sepertinya Bian masih kurang mabuk, karena buktinya ia masih ingat penyihir itu.

Bayangkan betapa lelahnya menjadi Bian. Di luar rumah ia sudah dituntut begitu banyak pekerjaan, dan saat ia berada di rumah istrinya menuntut lebih banyak hal. Sudah menjadi takdirnya menjalani kehidupan yang penuh dengan derita ini.

"Bian?" suara perempuan menyapanya. Bian yang sudah setengah teler sulit untuk mengenali siapa perempuan berbaju seksi di depannya ini.

"Who?" Bian menunjuk perempuan di depannya. Tidak sungkan kalau ia betulan tidak ingat perempuan bergaun putih ketat itu.

Perempuan itu tertawa kencang. Rumor Bian mudah melupakan perempuan yang pernah diajaknya main ternyata benar adanya.

"Mona. Ini gue Mona. Lo lupa sama gue, Bian?" Perempuan itu menyebutkan namanya, agak keras supaya dapat Bian dengar di tengah berisiknya musik DJ.

"Mona?" Bian linglung. Terlihat pria itu berusaha keras mengingat.

Setan, umpat Bian dalam hati. Ia bisa lupa dengan perempuan satu ini tapi kenapa Aswari masih ia ingat dengan sangat jelas di kepalanya. Bahkan setelah mabuk sekalipun. Penyihir sialan.

"Masa lupa sih?" Mona agak sebal. Dilupakan oleh Bian berarti dia kurang berkesan untuk pria tampan bergelimang harta ini. Tapi masa perempuan sepertinya dilupakan begitu saja? Tidak mungkin.

Bian memicing. Sungguh tidak ada ide siapa gerangan perempuan yang tengah bicara dengannya ini. Memangnya ia punya kenalan perempuan bernama Mona?

"Gue Mona, temennya Cantika Maharani, Bian. Cantika yang ngenalin kita waktu itu. Di tempat ini juga kalo lo lupa." Mona memberikan petunjuk lebih untuk Bian mengingat.

Bian membuka mulutnya ber-oh-ria tanda ia ingat. "Oh, Mona yang itu," ucap Bian kemudian. Berhasil mengingat kembali.

"Giliran nama Cantika gue sebut baru bisa inget lo sama gue, emang pilih kasih." Mona berani duduk mendekati Bian. Perempuan seksi itu sengaja menempel pada lengan pria yang sudah beristri itu.

Bian tertawa pelan. "Gitu aja cemburu," kelakarnya.

"Cemburu lah!" Mona berseru. "Emang lo nggak tau? Anak-anak di sini bilang, wanita yang bisa diingat seorang Bian Sastrowardoyo berarti tandanya ada yang istimewa," lanjut perempuan itu.

Bian memiringkan wajah, menyangga dagunya dengan satu tangan. "Istimewa apanya?"

Mona mendekat ke telinga Bian. Membisikkan sesuatu yang membuat Bian tegelak.

"Masa sih?" Bian masih terkekeh pelan. Sambil mempertahankan kesadarannya yang masih tertinggal setengah.

Mona mengangguk. "Bener. Kalo bisa diingat sama lo tandanya itu perempuan pernah membuat seorang Bian puas."

"Ngaco itu. Hoax." Bian tidak setuju.

Mona hanya mengiyakan. Terserah Bian kalau begitu. Keduanya lalu berlanjut mengobrol, bercengkrama panjang lebar. Obrolan mereka terlihat seru meski sesekali tidak nyambung karena Bian yang sudah hilang separuh akalnya.

THE WITCH OF MINE [TAMAT-LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang