33. The Great War

9.1K 909 84
                                    

Aswari turun dari mobil setelah Bian memarkirkan Tesla-nya di halaman. Pria itu bersikeras membawanya pulang ke rumah. Pintu depan dibuka sekuat tenaga, Aswari berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Dari belakang Bian mengikutinya sambil terus memanggil namanya.

"War!"

Pintu kamar tertutup sebelum Bian dapat menjangkaunya, perempuan itu menguncinya dari dalam. Kacau. Semuanya kacau. Berantakan. Aswari tidak menyesali tindakannya di pesta tadi, tapi ini semua membuatnya gila. Ucapan Cantika memenuhi kepalanya. Aswari seperti dimainkan. Dia dibodohi suaminya sendiri.

"Aswari!" Bian memegang handle pintu, berusaha membukanya meski sia-sia.

"War! Buka pintunya!" Bian menggedor pintu kamar Aswari, berharap sang istri mengijinkannya masuk. Ia akui, semua ini terjadi karena kesalahannya. Bian lalai. Bian ceroboh.

"War!"

Suara teriakan terdengar dari dalam. Aswari menjerit keras.

"Aswari, buka pintunya! War, aku mohon!"

Jerit dari dalam kamar terdengar kian memilukan. Seluruh emosi Aswari membuncah tersalurkan lewat raungan tangisnya. Diikuti suara pecah benda jatuh ke lantai berurutan. Bian di luar panik, khawatir Aswari melakukan hal nekat.

"War! Buka pintunya! Aswari!" Bian mendobrak pintu. Sekuat tenaga ia berusaha agar pintu di hadapannya mau terbuka. Dengan kedua tangan yang gemetar hebat, Bian berhasil membuka pintu kamar istrinya.

"Aswari!"

Bian berlari menuju perempuan itu, menjauhkan pecahan kaca di tangan sang istri yang hampir mengiris kulit lehernya. Bian menatap Aswari. Menggeleng pelan sambil berusaha melepaskan genggaman istrinya dari pecahan kaca yang masih ada di tangannya.

"No, no, this is wrong. Aswari, no." Bian bersuara lirih. Aswari di depannya balas menatapnya. Air matanya berjatuhan membasahi kedua pipi.

Bian berhasil merebut pecahan kaca dari tangan Aswari, dibuangnya benda itu jauh-jauh dari istrinya. Bian membawa Aswari ke dalam pelukannya. Tangis perempuan itu pecah, seperti cermin besar di dalam kamarnya yang kini berkeping-keping di atas lantai.

Bian memeluk erat Aswari. Mengecup keningnya berkali-kali sambil terus meminta maaf. Jantungnya hampir meledak. Sampai sekarang pun masih berdetak cepat sekali. Bagaimana tidak? Telat sedikit saja Bian bisa kehilangan Aswari selamanya.

"I'm sorry, War. Sorry."

Aswari tidak mau mendengar Bian meminta maaf. Maaf tidak bisa menyelesaikan masalah. Aswari hanya ingin mengetahui kebenaran. Kebenaran yang sesungguhnya. Hanya itu.

Perempuan itu melepaskan diri dari pelukan suaminya. Pijakan kakinya luruh ke lantai. Aswari terduduk di sudut kamarnya. Serangan paniknya datang kembali. Dadanya terasa sesak. Kali ini lebih parah dibanding saat di pesta pernikahan Valerie tadi. Kali ini Aswari tidak bisa bernapas. Paru-parunya terasa panas seakan terbakar.

"Bi, i can't breath-"

Bian bersimpuh. Kedua tangannya menyangga pipi Aswari. Pria itu panik. Wajah Bian pucat pasi. Pikirannya kalut. Tatapan matanya bergetar.

"War? Look at me," suara Bian terdengar sangat khawatir. "Liat aku, War." Bian memaksa perempuan itu untuk menatapnya.

"Look at me and breathe," ucap Bian terdengar seperti bisikan. "Stay with me, don't close your eyes." Bian menepuk pelan pipi Aswari saat perempuan itu memejamkan matanya. Aswari tidak boleh hilang kesadaran.

"Aswari, stay with me, breathe, breathe, breathe," ucap Bian. Aswari di depannya masih kesulitan bernapas. "Don't cry." Jika Aswari menangis perempuan itu akan semakin sulit bernapas.

THE WITCH OF MINE [TAMAT-LENGKAP]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt