55

2.5K 192 12
                                    

"Tekadku sudah bulat, Yah. Aku tak mau rujuk dengannya." Namira memandang ke arah Azka. Mengeja setiap katanya. "Aku tidak mencintai dia lagi."

"Dulu kita menikah juga tanpa cinta, Na. Sampai Ali tercipta ...." Azka menyindir ucapan Namira. "Menyesali pernikahan kita, sama artinya kamu menyesali keberadaan Ali."

Namira diam, tak tau harus membalas apa. Ia hanya memalingkan muka. "Kenapa kamu bersikeras mengajak aku rujuk? Bukankah katamu aku ini perempuan murahan? Kamu juga mengatakan jijik denganku." Air mata Namira kembali mengalir.

Fahri kaget, tak mengira Azka pernah berbicara seperti itu kepada putrinya.

"Sekarang Ayah tau, seperti apa dia memperlakukan aku. Aku sakit, Yah. Tolong jangan paksa aku kembali padanya. Kalau memang Ayah sayang padaku."

Fahri menggeleng pelan, ia bisa mengerti betapa hancur hati anaknya. Selama ini Namira selalu menyembunyikan semua.

"Ayah mengerti, Nak. Semua terserah padamu. Kamu yang menjalankan. Ayah tak bisa memaksa kamu." Fahri meninggalkan ruangan. Ia menyerahkan semua urusan kepada anak dan menantunya.

"Kenapa kamu begitu pendendam, Na? Aku sudah minta maaf berulang kali. Apa itu masih belum cukup? Kalau memang belum, bunuh saja aku, Na. Biar Ali menjadi anak yatim ...."

Namira segera membungkam mulut Azka. "Jangan bicara sembarangan! Ucapan adalah doa. Aku tak mau Ali menjadi anak yatim."

"Kalau begitu rujuklah denganku, atau aku akan bunuh diri ... biar Ali menjadi anak yatim." Ancam Azka.

"Jangan bicara lagi!" Namira menutup telinganya. Tak sanggup mendengar kata-kata mengerikan dari Azka.

"Kita rujuk, demi Ali, Oke?"

Namira diam, tidak menjawab sedikitpun. Dalam hatinya masih berkecamuk.

"Kamu sudah lebih dari cukup dalam menghukum aku, Na. Selama berbulan-bulan aku hidup bagai mayat. Aku mengobrak abrik seluruh kota Surabaya demi mencari kamu, tapi nihil. Rupanya ibu mertua aku telah berbohong ...."

"Sukurin!"

"Allah saja maha pemaaf, masa kamu enggak? Ingat, Na. Allah membenci perceraian." Azka mencoba meyakinkan Namira. "Kalau kamu diam, artinya kamu setuju."

"Aku perlu bukti!" tantang Namira.

"Baiklah, Na. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa jadi ayah yang baik untuk Ali. Juga suami yang baik untuk kamu."

***

Bulan demi bulan berlalu. Namira tak kunjung menerima ajakan Azka untuk rujuk. Hampir setiap hari Azka datang ke rumah orang tua Namira dengan dalih untuk melihat anaknya.

Jika sehari tidak datang, maka Ali akan rewel mencarinya. Azka berhasil membuat ikatan batin yang kuat antara Ali dan dirinya.

"Besok aku ada seminar ke luar kota selama tiga hari. Aku titip Ali." Pamit Azka.

"Pergilah." Namira menanggapi santai.

"Aku takut, Ali akan rewel mencariku," kata Azka lagi.

"Tidak akan. Aku ibunya, Ali akan aman bersamaku." Namira berkata dengan penuh percaya diri.

"Aku ingin kalian ikut bersamaku." Azka berkata dengan penuh harap.

"Jangan macam-macam, kamu tidak ingat status kita?"

***

Hal yang ditakutkan Azka benar-benar terjadi. Selama dua hari ini Ali sangat rewel. Bayi itu tak mau makan ataupun minum ASI. Hal itu membuat Namira bingung.

"Coba telpon papanya, Na," saran Adel.

Dengan ragu Namira menuruti saran Adel. Ia menghubungi Azka lewat video call.

"Tuh 'kan kubilang juga apa ... Ali rewel 'kan?" Azka tertawa melihat wajah lelah Namira yang sejak pagi menggendong Ali. Sedari pagi bayi itu tak mau ditaruh sama sekali, selalu minta digendong.

"Assalamualaikum, anak papa ...."

Mendengar suara papanya, Ali yang sejak tadi bersembunyi di ketiak mamanya menoleh dengan antusias. Bahkan bayi itu mau diletakkan di kasur. Namira menggunakan kesempatan itu untuk berbaring mengistirahatkan dirinya.

Azka yang melihat Namira tertidur dari layar ponselnya, ikut merasa iba.

"Jangan rewel ya, Nak ... kasian mama nanti kecapekan. Lusa Papa pulang. Janji."

Seolah mantra, ucapan Azka membawa pengaruh kepada Ali. Keesokan harinya bayi itu tak rewel sama sekali. Namira sampai merasa heran.

"Ali, Mama yang telah mengandung kamu selama sembilan bulan, sendiri. Mama juga yang melahirkan kamu. Tapi kenapa kamu lebih menurut kepada papa kamu ketimbang Mama?"  Ali hanya tersenyum mendengar keluhan mamanya. Senyum Ali sama persis dengan senyuman Azka. Namira sadar, ia mulai merindukan pria itu lagi ....

***

Hari ini jadwal kepulangan Azka. Namira menunggu dengan resah. Ali sudah dimandikan dari tadi. Bayi itu terlihat tak sabar bertemu papanya.

Saat Namira hendak mengambil air untuk minum, tiba-tiba gelas yang dipegangnya jatuh. Membuat bunyi yang cukup nyaring di kamarnya.

Adel bergegas menghampiri kamar Namira. "Apa yang jatuh, Na?"

"Gelas, Ma," kata Namira sambil membereskan serpihan gelas.

"Hati-hati kena tangan, Na." Adel memperingatkan.

"Entah mengapa perasaanku nggak enak, Ma. Kira-kira ada apa, ya?" Namira menyentuh dadanya.

"Istighfar, Na. Lebih baik kita berdoa supaya jangan terjadi apa-apa."

"Assalamualaikum. Kak, kakak ....."

Namira keluar kamar, tampak Khanza yang datang dengan tergopoh-gopoh. Khanza adalah adik kandung Abi yang berprofesi sebagai bidan, ia baru saja menikah dengan dokter Reyhan, teman Azka yang juga berprofesi sebagai dokter.

"Ada apa, Khanza?" tanya Namira kaget.

"Aku kesini untuk mengabarkan, suamiku, dan juga papanya Ali, mereka ...." Khanza menghentikan ucapannya dan menangis, membuat Namira penasaran.

"Mereka kenapa, Khanza?" tanya Namira dengan suara bergetar.

"Mereka kecelakaan, Kak ... masih koma."

Dunia Namira seakan ingin runtuh, ia memang membenci Azka. Tapi ia tau mau melihat pria itu ada apa-apa, Namira takut Ali menjadi anak yatim.

"Ya Allah, Ali ... papa kamu, Nak ...."

***

Kira-kira Azka mati nggak ya? 🤧

Azka dan NamiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang