30

2K 200 5
                                    

Namira menyeret kopernya hingga ke lobby. Satpam apartemen menyapanya, dan menanyakan ia hendak pergi kemana. Tapi Namira hanya menjawab singkat, mengatakan akan berlibur untuk beberapa hari.

Namira berpikir untuk sementara ia akan menginap di hotel saja, sembari menenangkan diri. Namira penasaran, apa Azka akan mencarinya? Atau pria itu malah tak peduli? Memikirkan kemungkinan terakhir membuat Namira sedih.

"Mau saya panggilkan taksi, Bu?" tanya satpam apartemen dengan ramah.

"Nggak usah, Pak. Saya bisa sendiri." Dengan ragu Namira melangkahkan kaki meninggalkan lobby. Sempat terngiang ucapan ayahnya.

Tidak seharusnya seorang wanita keluar rumah tanpa ijin suaminya. Sepanjang jalan malaikat akan melaknatnya.

Namira memejamkan mata. Ia menghela nafas berat, dan membulatkan tekad. Bismilah. Dengan langkah lebar Namira melangkahkan kaki.

Terserah kamu, Na ....

Masih teringat ucapan Azka sebelum ia pergi. Namira sempat menoleh ke belakang. Ia memandangi lantai empat, tempat unitnya berada. Tempat yang ia tempati beberapa minggu ini bersama Azka.

Maafkan aku, Ayah. Bukan aku mau nusyuz kepada suami. Tapi ... dia bilang terserah. Artinya dia tidak perduli aku pergi atau tidak. Aku butuh menenangkan diri. Sampai siap melihat wajahnya lagi.

Namira mencoba menahan air matanya yang tidak berhenti jatuh. Ia mencoba menguatkan dirinya. Ia sadar, Azka adalah makhluk biasa, tak seharusnya Namira menggantungkan harapan kepadanya. Semestinya ia hanya bergantung kepada Allah.

Dan hanya kepada Tuhanmu lah kamu berharap (Q.S. Al-insyirah ayat 8)

Bergantung kepada manusia hanya akan berujung kecewa. Bergantunglah hanya kepada Allah semata. Kamu harus tetap bahagia, dengan atau tanpa Azka! Kamu pasti bisa melewati semua, Na .... Namira berusaha menguatkan dirinya sendiri.

Tapi hamba baru beberapa bulan menikah, ya Allah. Hamba belum siap menjanda .... tekad Namira kembali goyah, ia mulai menangis lagi.

Ia segera menyetop taksi yang kebetulan lewat di depannya.

"Loh, Mbak lagi?" sapa sopir taksi.

Namira mengamati wajah sopir taksi itu dari spion tengah.

"Loh, Bapak yang ngantar saya tempo hari 'kan?" Namira bertanya dengan polos.

"Iya, Mbak. Itu memang saya. Nggak nyangka Mbak bisa mengingat wajah saya yang pasaran ini." Sopir taksi itu berusaha mengajak Namira bercanda. Ia mengamati wajah Namira yang agak sembab. "Ada apa lagi, Mbak? Perasaan setiap ketemu saya, keadaan Mbak selalu tidak baik-baik saja?"

Namira menolak menjawab. "Jalan aja, Pak. Saya nggak mood buat Q&A sama Bapak."

Sepanjang perjalanan Namira hanya diam, pak sopir juga diam, tak mau menggangu Namira yang tengah merenung, entah apa.

"Pak, kenapa, ya laki-laki itu suka menyakiti hati wanita?" Namira tiba-tiba bertanya.

"Nggak semua laki-laki begitu, Mbak. Tapi yang biasanya begitu pasti laki-laki." Pak sopir mencoba mengajak Namira bercanda sampai-sampai tak sadar kalau melanggar lampu merah.

"Waduh, Mbak. Kayaknya saya habis nerobos lampu merah."

Tiba-tiba seorang polisi dengan sepeda motornya menyuruh taksi itu menepi. Namira jadi ikut panik.

"Selamat siang, Pak. Boleh lihat surat-suratnya?"

Namira tak asing dengan suara itu. Jangan dia, please ... sementara pak sopir segera menurunkan kaca mobilnya.

Azka dan NamiraWhere stories live. Discover now