36

1.7K 180 11
                                    

"Nggak nyangka, sekarang kita udah sama-sama jadi mahasiswa, ya, Bu?" Deva sangat senang melihat Namira ada di kampusnya.

"Iya, Deva. Sekarang kita jadi teman." Namira menjawab dengan malas.

"Aku merasa jalan kita dipermudah, Bu. Apakah ini pertanda kalau kit ...."

"Jangan berpikir macam-macam, Deva. Selamanya Ibu akan menganggap kamu sebagai murid." Namira memotong hayalan Deva.

"Oh, ya ... Ibu ngekos di mana?" tanya Deva, mencurigakan di mata Namira.

"Memangnya kenapa, Deva?"

"Cuma nanya, Bu. Barangkali saya bisa ngapel, eh mampir ke sana maksudnya." Deva meralat ucapannya sendiri.

"Maaf, Deva. Ibu sedang ada perlu. Lain kali kita ngobrol lagi." Namira buru-buru kabur, ia enggan menjawab pertanyaan Deva. Ia harus bisa menyembunyikan kehamilannya dari siapapun, termasuk murid tengilnya itu.

"Bu, jawab dulu pertanyaan aku ...." Deva berteriak memanggil Namira, sayangnya diacuhkan. Sebagai gantinya, Deva mendapatkan lirikan sinis dari beberapa mahasiswa yang ada di perpustakaan itu.

***

Abi pergi ke toko kue kekinian milik mamanya, Dinar. Toko kue itu berada di samping rumahnya. Sejak gagal kuliah hukum, Dinar memutuskan untuk membuka toko kue kekinian, tentu saja bukan dia yang membuat kue-kue itu. Dinar menggaji seorang cheft pastry untuk mengerjakannya.

"Bayar dulu di kasir, baru makan." Dinar menegur Abi yang mencomot sebuah donat yang terpajang di etalase.

"Cuma satu, Ma ...." Abi membantah, lalu ia menggigit kue donat kesukaannya itu.

"Biar kata sebiji, juga ada itungannya!" Dinar berkata dengan ketus. Tampak sekali ia masih marah kepada Abi.

"Ma, ini sudah tiga hari loh. Apa Mama nggak bosen marah-marah terus? Seorang muslim nggak boleh mendiamkan muslim lain lebih dari tiga hari, Ma ...."

Dinar diam, karena memang benar apa yang dikatakan Abi. Matanya melotot ketika tangan Abi hendak mencomot donat kedua.

"Jangan kamu habiskan donat Mama, Bi!" Dinar memukul tangan Abi.

"Nanti aku bayar, Ma. Utang dulu tapi ... soalnya aku nggak bawa dompet." Abi tak peduli, ia terus saja memakan donat kedua itu.

"Bi, Safira rajin, ya?" Dinar menyenggol tangan Abi, ia mengarahkan dagunya ke arah Safira yang sedang mengelap etalase.

Safira sudah beberapa hari ini bekerja magang di toko kue milik Dinar. Sepulang sekolah, gadis itu selalu pergi ke toko kue Dinar.

Kebetulan waktu itu ia melihat lowongan pekerjaan di toko kue ibu 'calon mertuanya' itu. Kebetulan itu tak akan ia sia-siakan. Walaupun Abi tidak setiap hari berada di toko kue mamanya, tapi Abi beberapa kali datang untuk menjarah kue dagangan mamanya. Dari situ Safira tau, kalau kue kesukaan Abi adalah kue donat. Salah satu informasi yang penting baginya.

Rasa kesalnya kepada Abi memang masih ada, tapi rasa penasaran untuk menaklukkan 'om-om kulkas' itu lebih mendominasi.

"Terang aja dia rajin, Ma. Orang dibayar." Abi mengalihkan pandangannya ketika Safira tersenyum padanya. Abi sedang malas 'berbaik-baik ria' kepada gadis ingusan itu.

"Mama lihat-lihat dia imut juga, sopan, lemah lembut, putih ...."

"Memang dia bihun?" Abi memotong ucapan mamanya, ia tau pasti, kemana arah percakapan ini akan bermuara. "Jangan bilang Mama mau menjodohkan aku dengan dia ...."

"Memang itu maksud Mama, Bi." Dinar berkata dengan penuh harap. Ia ingin Abi segera menemukan tambatan hatinya, agar tidak terus-menerus mengharapkan Namira. Kerukunan keluarganya akan terancam kalau sampai Abi nekat mendekati Namira. Kia kakaknya, Adel sahabatnya. Dinar tak siap kehilangan mereka.

"Jangan bercanda, Ma. Mana mungkin aku tertarik dengan gadis ingusan seperti dia. Badan aja rata, t3t3k juga baru numbuh ...."

"Abi!" Dinar memukul punggung anaknya. "Bar-bar sekali mulut kamu itu, ya? Ingat, Bi. Kamu ini cucu almarhum Haji Arifin. Hargai nasab kamu!"

Abi tersedak gara-gara kaget, punggungnya dipukul Dinar dengan meras. "Uhuk ... uhuk ... Ma, tolong ... Ak-aku keselek donat ...." Abi menggapai tangan Mamanya, minta diambilkan air.

"Sukurin! Siapa suruh bicara cabul!" Dinar malah mengabaikan Abi.

Safira yang melihat dari jauh, pangeran donat-nya sedang keselek donat, segera datang menghampiri sambil membawakan segelas boba.

"Minum, Mas ...."

Tanpa pikir panjang, Abi segera minum air pemberian Safira. Tapi tiba-tiba ....

"Uhuk ... Safira! Benar-benar kamu, ya!" Abi tersedak boba yang terbawa lewat sedotan. Malang sekali nasibnya, sudah keselek donat, keselek boba pula.

"Maaf, Mas. Safira nggak sengaja ...." Safira menunduk sambil menahan tawa.

"Sepertinya kamu dendam sekali kepada saya, ya?" tanya Abi, setelah pernapasannya normal.

"Nggak, Mas. Mana mungkin aku dendam sama calon suami sendiri." Safira berkata malu-malu. Tadi ia sempat mencuri dengar ucapan Dinar. Saat itu Safira merasa senang sekali. Restu calon mertua sudah ia kantongi, tinggal meyakinkan Abi saja.

"Jangan menghayal seperti cerita drakor, ya, Safira!" Abi meninggalkan Safira dengan kesal.

Safira tersenyum malu, memang itu yang sedang ia hayalkan. Gadis pelayan toko kue, menikah dengan anak majikannya.

"Semua berawal dari mimpi, Mas. Dan aku akan berusaha mewujudkannya ...." Safira bicara seorang diri sambil terus memandangi foto Abi yang diambilnya diam-diam. Foto Abi yang sedang makan donat.

Safira mengubah gambar wallpaper ponselnya menjadi foto Abi. Ia juga mengganti nama kontak Abi di ponselnya menjadi 'Pangeran Donat.'

***

Pangeran Donat 🤣🤣🤣

Ini scene ringan dulu, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini scene ringan dulu, ya ....
Pemanasan sebelum kita nangis lagi hehe ....
Mau double update nggak?

Azka dan NamiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang