31

2K 212 22
                                    

"Kak, aku bisa jelaskan ...."

Azka mengabaikan Abi, ia menatap datar kepada Namira. Yang masih menelungkupkan wajahnya.

Azka berjalan ke arah Namira. "Jadi ini yang kamu lakukan ketika aku pergi bekerja? Mengundang laki-laki lain masuk ke rumah? Kamu bersikeras menuduh aku berselingkuh, tapi kamu sendiri ...."

Namira mengangkat wajahnya, menatap datar ke arah Azka. "Lalu kenapa? Kita impas bukan?"

"Na, jangan sembarang bicara ...." Abi mengingatkan.

Azka mengeratkan rahangnya. "Jadi kecurigaan aku selama ini benar? Kalian berselingkuh, hah?" Azka menarik tangan Namira hingga berdiri.

"Kalau iya, kenapa? Memangnya kamu saja yang bisa?" Namira menghempaskan tangan Azka.

"Jangan bicara lagi, Na!" Abi tak bisa tinggal diam, sebelum Azka menjadi semakin salah paham.

"Katakan, sejak kapan kalian berselingkuh?" tanya Azka lagi.

"Kak, jangan dengarkan dia. Dia cuma asal bicara karena sedang emosi ...."

"Diam, Bi! Biar dia yang menjawab!" Azka menarik tangan Namira lagi. "Bilang. Sejak kapan kalian berselingkuh?"

Namira hanya diam, tangannya merasa sakit karena Azka mencengkramnya kuat. Abi melihatnya, ia khawatir dengan keadaan Namira.

"Jawab, Namira!" Azka memebentak Namira di depan Abi.

"Kak, jangan kasar." Abi berusaha mengingatkan Azka.

"Aku tidak menyangka kalian tega mengkhianati aku. Kamu adikku, Bi. Kamu sendiri yang menyerahkan Namira padaku. Lalu sekarang apa? Setelah dia menjadi istriku, kenapa kamu mengganggunya?"

Namira tersentak mendengar ucapan Azka. Jadi selama ini ia hanya dianggap barang oleh kedua pria itu, dioper kesana kemari.

"Aku nggak nyangka kamu sangat menjijikkan, Na. Kamu sudah seperti wanita murahan." Azka melepaskan tangan Namira dengan kasar, seolah sangat jijik.

Abi marah mendengar ucapan Azka. Tangannya refleks mencengkeram kerah baju Azka. "Dia bukan wanita seperti itu. Tarik ucapan Kakak!"

"Tidak akan. Dia memang tipikal wanita seperti. Aku menyesal telah menikahinya." Azka melepaskan tangan Abi dari kerah bajunya.

Tubuh Namira langsung lemas, hampir saja ia terjatuh kalau Abi tidak sigap menahan pinggangnya. Pemandangan itu disaksikan oleh Azka. Pria itu tersenyum sinis.

"Aku tidak butuh perempuan seperti itu, untukmu saja. Memang sebaiknya sampah berkumpul dengan sampah."

Azka pergi meninggalkan rumahnya dengan membanting pintu. Ia tak pernah merasa semarah ini. Dihianati oleh istri dan orang yang telah ia anggap seperti adik sendiri, sangat memukul perasaannya.

Setelah Azka pergi, Namira hanya bisa diam, pandangannya kosong. Membuat Abi khawatir. "Nangis aja, Na. Jangan ditahan. Kalau lo begini, semakin membuat gue takut."

Air mata Namira sepertinya telah kering, ia sudah tak bisa menangis lagi. Sepertinya rasa kaget lebih mendominasi perasaannya.

"Gue pingin sendiri, Bi." Namira berkata lemah.

"Nggak, gue nggak akan biarin lo sendiri. Ayo, gue antar ke rumah orang tua lo." Abi membantu Namira untuk berdiri.

"Jangan, Bi. Gue nggak tega melihat reaksi mereka." Tolak Namira dengan panik.

"Jangan sendiri, Na. Lo butuh keluarga untuk support lo." Abi mencoba membujuk Namira.

"Gue mau tidur."

"Gue temenin, sampai lo tertidur."

Namira hendak masuk ke kamarnya, tapi tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing, matanya berkunang-kunang. Ia mencoba berpegangan di daun pintu, tapi gagal. Tubuhnya ambruk ke lantai. Sebelum kesadarannya hilang, ia sempat mendengar suara Abi yang panik dan memanggil dirinya.

***

"Kak, angkat panggilan aku. Namira sakit, Kak. Tolong segera ke ruangannya." Abi mengirimkan pesan suara kepada Azka. Sedari tadi ia mencoba menghubungi pria itu, tapi selalu diabaikan. Pesan teks juga tidak dibalas.

Abi memandangi Namira yang sedang tergolek lemah di ruangannya. Ia juga sudah menghubungi orang tua Namira.

Tak seberapa lama, Fahri dan Adel datang dengan tergopoh-gopoh. "Bi, dia kenapa?" tanya Adel panik.

"Tadi dia pingsan, Ma."

"Kenapa bisa sampai pingsan? Ada apa sebenarnya?" Adel tak puas dengan jawaban Abi.

"Tenang, Ma. Mungkin dia sedang kecapekan." Fahri berusaha menenangkan istrinya.

"Mana Azka? Bukannya dia juga dinas di rumah sakit ini?" tanya Fahri.

Deg!

Abi tak tau harus menjawab apa. Sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan semuanya.

"Tadi sudah kesini, Yah. Sekarang dia sedang menangani pasien lain." Abi terpaksa berbohong.

Abi pamit keluar sebentar. Ia ingin mencari Azka. Abi sudah tak tahan lagi. Kakaknya itu benar-benar keterlaluan. Istrinya sendiri terbaring di rumah sakit yang sama, dia malah merawat wanita lain.

***

Abi segera masuk ke ruangan Azka. Tampak Azka yang sedang merenung seorang diri. "Ada apa?" tanya Azka datar.

"Apa-apaan ini, Kak? Istrimu sedang sakit, kamu malah di sini?"

"Buat apa? Lagipula sudah ada kamu, selingkuhannya." Azka berbicara dengan santai.

"Kak, harus bagaimana lagi aku menjelaskan. Aku dan Namira tidak ada hubungan apa-apa. Aku ikhlas menitipkan Namira. Aku berharap kalian bisa bahagia." Abi berkata dengan frustasi.

"Terus menurutmu aku sekarang terlihat bahagia?"

Abi diam. Hal itu memberi kesempatan Azka untuk terus menyerang dirinya. "Aku sudah muak dengan perbuatan kalian. Wanita murahan itu, ambil untukmu saja!"

Mendengar Namira dihina, Abi refleks mencengkeram kerah baju Azka, ingin memukulnya. "Jangan pernah sebut dia seperti itu."

"Pukul. Ayo pukul. Kenapa berhenti? Aku tidak akan pernah menarik kata-kataku. Perempuan itu memang begitu adanya. Dia memang murahan." Azka menghempaskan tangan Abi.

Abi merasa heran melihat Azka yang sekarang, ia seperti tak mengenalnya. "Kak, jangan buat aku menyesal karena telah menyerahkan Namira kepadamu." Abi berkata dengan pedih.

"Aku akan menceraikan dia."

***

Azka dan NamiraWhere stories live. Discover now