1

7.8K 356 34
                                    

Azka pov

Aku masih memikirkan permintaan mamaku tadi malam. Wanita yang telah melahirkan aku itu meminta aku untuk segera menikah. Seperti kebanyakan ibu-ibu di negara ini, mamaku selalu panik ketika orang bertanya kapan aku akan menikah.

Lain dengan mamaku, papaku adalah tipe orang yang santai dan demokratis. Tak sekalipun papa pernah mencampuri urusan pribadiku. Papa menyerahkan semua urusan padaku. Kata papa, aku laki-laki, aku harus bisa mengambil keputusan untuk hidupku sendiri. Papa membebaskan aku memilih semua, kecuali agama.

Ketika aku memilih kuliah di jurusan kedokteran, aku tau papa sedikit kecewa. Tapi beliau tak pernah mengatakannya. Aku tau seberapa besar harapan papa untuk melihat aku berkerja sebagai pengacara, meneruskan firma hukum yang telah dirintisnya.

It's okay. Tak ada salahnya menjadi dokter. Good job, Boy ....

Hanya itu yang papa katakan. Sejujurnya aku agak kesal ketika papa memanggilku 'boy' ayolah, aku bukan anak kecil lagi. Bagi papa, sampai kapanpun aku adalah 'boy' baginya.

Papa adalah orang yang amat penyayang, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, betapa ia menyayangi aku dan mama. Papa bekerja keras pagi dan malam untuk memastikan aku dan mama bisa hidup layak.

Bukan aku tak ingin mengikuti jejak papa. Aku bangga dengan pekerjaan papa. Aku bangga ketika papa keluar masuk berita karena menangani kasus penting. Aku juga sering melihat wajah papaku di layar kaca. Saat itu aku merasa papaku sangatlah keren.

Tapi apa daya, aku yang notabene seorang introvert, tak akan mampu menjadi seperti papa. Selain public speaking ku jelek, aku juga punya masalah dengan kemampuan bersosialisasi.

Entah mengapa, setiap mamaku bertanya tentang apa cita-citaku, aku selalu menjawab dokter, dokter dan dokter.

Aku bukan asal ikut-ikutan ingin menjadi dokter. Ini semua bermula ketika aku sakit sewaktu kecil, hingga harus diopname. Mamaku menangis setiap saat. Setiap hari dokter menyuntikkan obat padaku, tentu saja mamaku tak tega melihatnya. Walaupun aku merasa tak sakit sama sekali.

Dokter anak yang menanganiku menjanjikan padaku, kalau aku tak menangis saat disuntik, dan rajin minum obat, maka aku akan mendapatkan hadiah darinya. Bukan hadiah mewah, hanya sebuah buku dan permen. Aku cukup senang menerimanya. Aku menganggap dokter itu sebagai teman, badut lebih tepatnya. Aku sedih saat diijinkan pulang. Aku mulai menyukai bau rumah sakit.

Saat itulah aku merasa, bahwa profesi dokter itu amat mulia. Aku bermimpi jika aku besar nanti, aku akan terlihat tampan mengenakan sneli dengan stetoskop yang menggantung di leher.

Waktu wisuda kelulusan, papa menghadiahi aku sebuah mobil sport. Mobil yang telah lama kuimpikan. Aku tak memberi tau kepada siapapun tentang itu. Aku berencana membeli mobil itu kelak, ketika aku sudah punya gaji sendiri. Tapi dengan ajaibnya papa tau. Kini aku mengerti, aku tidak akan bisa menyembunyikan apapun dari papa.

Kala aku pertama kali praktek di sebuah rumah sakit pemerintah, keluargaku teramat bangga. Kakekku bahkan mengadakan acara syukuran besar-besaran. Semua jamaahnya diundang, ribuan orang banyaknya. Oh, ya aku belum cerita, kakekku adalah seorang da'i ternama di kotaku.

Bisa dibilang garis keturunan dari mamaku adalah pemuka agama, dari kakekku, kakek buyutku, begitu seterusnya ke atas.

Jangan tanyakan bagaimana bisa papaku yang muallaf menikah dengan mama, itu panjang ceritanya. Lain kali saja aku jelaskan.

Kembali ke kehidupan percintaanku. Percintaan apa pula? Sejatinya aku ini jomblo sejati, sejak lahir malah. Belum pernah aku merasakan bagaimana menyatakan perasaan kepada wanita, berpacaran. Jangankan berpacaran, mengobrol saja jarang.

Azka dan NamiraWhere stories live. Discover now