12

2.2K 203 14
                                    

Namira telah selesai mengajar tepat pukul dua siang. Dengan segera ia keluar gerbang, berharap Azka telah menunggunya. Tapi ia kecewa, ketika tak melihat mobil Azka terpakir di sana.

"Sudah kuduga. Pria itu memang tak bisa diharapkan. Bisanya janji doang." Namira mengeluh sambil berjalan ke arah bangku di bawah pohon.

Suasana sekolah sudah sepi. Sebagian besar murid telah pulang. Hanya tersisa beberapa murid yang akan mengikuti pelajaran tambahan.

Namira menyepak batu di depannya dengan kesal. Ini karena kesalahannya sendiri, bagaimana bisa ia lupa memasukkan ponsel dan dompetnya ke dalam tas. Jadi sejak tadi ia hanya membawa tas kosong dari rumah, cerdas.

Kalau sudah begini, dia sendiri yang susah. Mau pulang, tidak ada ongkos, mau menelpon Azka juga tidak bisa. Tadi ia sempat menelpon Azka menggunakan ponsel teman gurunya, tapi tidak diangkat.

Perut Namira mulai bergejolak, lapar. Ia melihat ke arah penjual batagor yang sedang sibuk melayani pembeli di pinggir jalan. Ia mengusap pelan perutnya.

"Lapar banget."

Namun, tak ada yang bisa dilakukannya, mau ngutang juga malu. Sekarang ia hanya bisa menunggu Azka datang menjemputnya.

Tiba-tiba seorang murid yang sedang menaiki motor sport dan juga helm full face, berhenti di dekatnya.

"Bu, Nana kok belum pulang?" Pemuda itu menyapa Namira dengan sopan.

Namira menoleh, ia segera mengenali pemuda itu. "Oh, kamu, Dev. Baru pulang?"

"Iya, Bu. Tadi ada urusan sebentar." Deva turun dari motornya, ia juga melepas helm-nya. Kemudian pemuda itu duduk di samping Namira.

"Kok Ibu belum pulang?" tanya Deva heran. Setahu Deva, Namira ini adalah jenis guru yang datang paling lambat, dan pulang paling cepat. Tapi kenapa sekarang berubah jadi kerasan di sekolah?

"Lagi nunggu suami Ibu, Dev." Namira menjawab singkat.

Deva mengangguk paham, ia juga baru tau kalau Namira telah menikah beberapa hari yang lalu. Saat itu ia baru saja masuk sekolah, setelah beberapa hari menginap di rumah sakit karena kecelakaan saat balapan motor.

"Selamat, ya, Bu. Saya belum mengucapkan selamat kepada Ibu secara langsung." Deva mengulurkan tangannya, Namira hanya mengangguk sekilas, tak menyambut tangan Deva.

Anak itu baru ingat, kalau Namira tidak pernah mau bersalaman dengan murid pria, bahkan saat lebaran.

"Kamu udah sembuh, Dev?" tanya Namira sambil mengamati pelipis Deva yang masih ditutupi plester.

"Udah dong, Bu. Anak laki harus kuat. Nggak boleh manja. Kecuali sama pacar." Deva menepuk dadanya sendiri.

Namira tersenyum geli melihat tingkah pemuda tengil di depannya ini. "Alhamdulillah. Maaf, ya. Waktu itu Ibu nggak bisa jenguk kamu. Waktu ibu lagi nikahan."

"Nggak papa, Bu. Udah sembuh juga, saya-nya."

"Lain kali jangan kebut-kebutan gitu, Dev. Bahaya. Kasihan orang tua kamu kalau kamu ada apa-apa." Namira menasihati Deva dengan serius. Ini bukan kali pertama Deva masuk rumah sakit karena kebut-kebutan.

"Nggak papa, Bu. Biar kepake BPJS saya." Deva menanggapi ucapan Namira dengan candaan.

"Ibu serius, Dev. Kamu ini sukanya bikin orang khawatir saja."

Deva tertegun mendengar ucapan Namira. "Waktu saya kecelakaan, Ibu khawatir sama saya?" tanya Deva penuh harap.

"Khawatir dong."

Deva tersenyum senang. Pipinya tiba-tiba merona. Besok-besok ia akan sering kebut-kebutan agar lekas masuk rumah sakit. Nagih banget dikhawatirkan sama Bu Nana ....

Azka dan NamiraWhere stories live. Discover now