6

2.2K 223 5
                                    

Pagi harinya, hari Minggu tepatnya, Azka benar-benar menjemput Namira. Abi ikut bersama mereka sebagai obat nyamuk. Wajah Azka terlihat sangat lelah, beberapa kali ia juga menguap.

Namira melihatnya dari kursi penumpang, khawatir karena saat ini Azka dalam posisi menyetir. "Gantian aja nyetirnya, bahaya, kamu ngantuk gitu."

Abi yang duduk di samping Azka setuju dengan pendapat Namira. "Sini, biar aku gantiin, Kak."

"Nggak papa. Bentar lagi juga sampai." Azka menolak tawaran Abi.

Benar saja, beberapa saat kemudian, Azka menghentikan mobilnya di sebuah toko emas besar di pinggir jalan.

Namira dan Abi bergegas turun dari mobil. Azka sempat berpesan padanya. "Na, nanti pilih perhiasannya cepat sedikit, ya. Saya ngantuk banget, tadi malam kebagian jaga piket."

Namira mendengus mendengar ucapan Azka. "Kalau udah tau ngantuk, ngapain dipaksakan? Kan aku bisa berangkat sendiri."

"Disuruh mama." Azka menjawab dengan polosnya.

Mereka bertiga memasuki toko emas. Namira segera pergi ke bagian cincin. Kedua ajudannya mengikuti dari belakang.

Namira tampak bingung memilih cincin mana yang ia sukai, semuanya tampak sangat menarik. Kalau boleh, ia ingin memilih semuanya.

"Bisa cepat sedikit, Na?" Azka bertanya sambil memeriksa jam tangannya.

"Iya-iya! Sabar sedikit 'kan bisa? Aku juga bingung mau milih yang mana. Semuanya bagus." Namira memarahi Azka yang menurutnya sangat tidak sabaran.

Melihat Azka diomeli, Abi hanya bisa menahan tawa.

"Pilih saja yang paling kamu suka." Azka berkata tak sabar.

"Aku mau yang ini." Namira menunjuk sebuah cincin yang terlihat elegan.

"Pilihan anda tepat, ini adalah cincin keluaran terbaru." Pelayan itu mengambil cincin yang dimaksud Namira.

"Suka?" tanya Azka. Namira mengangguk.

Namira mencoba cincin itu, nampak sangat pas di jarinya. Ia menyukainya. Namun, ketika pelayan menyebutkan harganya, wajah Namira langsung pucat.

"Kamu tau barang bagus, Na. Selera kamu nggak kaleng-kaleng." Abi meledek Namira, hanya sebatas candaan tanpa maksud apapun. Tapi rupanya Namira tampak tersinggung dengan candaan Abi.

Namira segera melepaskan cincin itu. Ia sadar, perempuan biasa sepertinya tak pantas memakainya. Azka mengerutkan dahi melihatnya.

"Loh, kenapa? Bukannya kata kamu cincinnya bagus?"

Namira hanya diam, ia menggeleng dengan lesu. Ia merasa tersindir dengan ucapan Abi tadi.

"Aku tadi cuma bercanda, Na." Abi merasa tak enak karena candaannya telah menyakiti hati Namira.

Azka melirik kesal ke arah Abi, ia merasa menyesal mengajak adik sepupunya itu. Memperlama waktu belanja saja.

"Mbak, tolong dibungkus saja cincinnya." Azka menyuruh pelayan toko.

"Jangan. Nggak usah. Aku mau nyari model lain aja." Namira buru-buru mencegah, sambil bergeser ke tempat lain, tempat cincin yang lebih murah.

"Mbak, tolong carikan cincin yang paling murah." Perintah Namira kepada pelayan toko. Pelayan itu tampak bingung, ini orang aneh amat, dibelikan cincin mahal menolak, malah mencari yang murah.

"Jangan gitu, Na." Abi berusaha membujuk Namira. "Aku tadi bercanda aja loh."

Namira melirik Abi sekilas, kemudian mengabaikannya. Ia sedang fokus mencoba cincin yang dipilihkan pelayan, cincin yang murah.

Abi menggaruk rambutnya, Namira mengabaikannya, sepertinya gadis itu benar-benar marah.

"Kamu beneran nggak mau maafin aku, Na? Aku tadi cuma bercanda. Serius. Allah aja maha pemaaf, kok kamu enggak?"

Azka merasa muak melihat tingkah Abi, tingkahnya seperti sedang membujuk kakasihnya yang sedang merajuk saja.

Namira melirik sebentar ke arah Abi, kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah cincin yang sedang dicobanya.

Pelayan bingung melihat adegan di depannya, ada dua pria,  yang mana sebenarnya pasangan Namira?

"Aku bantu pilih, ya, Na?" Abi mencoba membujuk lagi.

"Bagusan yang ini atau yang ini?" Namira menunjukkan cincin yang sedang dipakainya kepada Abi.

"Dua-duanya nggak bagus." Abi menjawab jujur. Ia juga merasa lega karena Namira sudah mau mengajaknya bicara, artinya gadis itu sudah tak marah padanya.

Sedang Azka, wajahnya memerah, menahan rasa tak enak di hatinya. Bayangkan saja, di sini dialah yang calon suami Namira, tapi mengapa gadis itu malah bertanya kepada pria lain?

"Yang ini bagus, Na."

Namira memperhatikan cincin yang dipilih Abi. Memang bagus, harganya juga tak terlalu mahal. Ketika Namira mencobanya, memang tampak sangat pas.

"Saya mau yang ini, Mbak."

Azka melongo mendengar ucapan Namira. "Bukannya tadi kamu bilang cincin yang  pertama bagus?" Azka menipiskan bibirnya.

"Bagusan yang ini." Namira menjawab dengan santai.

"Menurut aku bagusan yang tadi." Tanpa sadar Azka menekan suaranya, tampak sangat kesal.

"Nggak usah maksa, aku yang pakai cincinnya, bukan kamu. Menurut aku, bagusan yang ini."

Abi merasa tak enak, karena sudah menjadi penyebab pasangan itu bertengkar. Ia hanya bisa diam di pojokan, sambil pura-pura melihat kalung. Ada satu yang menarik, pasti Namira terlihat cantik ketika memakainya.

Ingin Abi membelikannya untuk Namira, tapi dia siapa? Pacar bukan, tunangan bukan, apalagi suami Namira.

Namira tetap bersikeras membeli cincin pilihan Abi. Pelayan segera menyiapkan pesanannya. Azka hanya diam tanpa bisa berbuat apa-apa.

Jadi, kamu lebih memilih cincin pilihan laki-laki lain, daripada pilihan calon suami kamu sendiri, Na? Azka mengucapkan hanya dalam hati saja.

***

Azka dan NamiraWhere stories live. Discover now