38

1.6K 182 3
                                    

Keesokan harinya, Deva benar-benar mengajak Namira makan gudeg ke Sagan. Saat itu Namira bingung harus senang atau bagaimana. Di sisi lain Namira senang, karena ngidamnya terpenuhi. Di sisi lain ia merasa jengah, kalau harus jalan dengan mantan anak muridnya yang terang-terangan menyukainya.

"Deva, sebenarnya ibu masih segan kalau harus jalan dengan kamu."

Deva menghentikan suapannya. "Segan kenapa, Bu? Kan kita sekarang sudah jadi teman satu kampus?" Deva tersenyum manis ke arah Namira.

"Ya tapi 'kan ...."

"Takut suami Ibu cemburu?" tanya Deva.

Namira tertegun, bingung harus menjawab apa. "Ya, kira-kira seperti itulah ...."

"Memang suami Ibu nggak papa, kalau ditinggal kuliah jauh gini? Kan itungannya kalian masih pengantin baru."

Namira tergagap. "Makan, Deva. Nanti nasimu dingin." Namira mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kapan jadwalnya suami Ibu berkunjung?" tanya Deva lagi.

"Em ... nggak pasti. Dia sibuk soalnya." Namira menjawab, sambil meneruskan makannya.

"Oh, begitu ...." Deva mengangguk pelan, sambil memperhatikan Namira yang makan dengan lahap.

"Ibu kayaknya suka sekali makan gudeg. Nambah aja, Bu. Nanti aku yang traktir." Deva menawarkan.

"Nggak usah, Deva. Ibu bayar sendiri aja." Namira menolak tawaran Deva, segan kalau harus makan dari uang orang tua bocah itu.

"Loh 'kan aku udah janji mau traktir Ibu?"

"Ya, terserah kamu saja." Akhirnya Namira mengalah. Mereka pun melanjutkan makan.

Pulang dari makan gudeg, Deva mengajak Namira nonton dulu di bioskop. Sepertinya bocah itu sedang menghayal jalan dengan gebetannya. Tapi sayang, Namira menolak ajakan Deva.

"Lain kali saja, Deva. Ibu capek." Namira tidak berbohong, faktor kehamilan memang membuat dirinya kelas capek.

"Lain kali, ya, Bu? Janji loh!" Deva memaksa. Namira terpaksa mengangguk.

"Kamu harus rajin belajar, Deva. Kuliah hukum itu susah. Kamu harus bisa jadi jaksa yang baik." Nasihat Namira.

"Nggak jadi jaksa juga nggak papa, Bu. Masih banyak kerjaan lain. Nggak kerja juga nggak papa, sih ... kan ortu aku tajir." Deva terkekeh.

"Hush, bicara apa kamu? Kalau nggak kerja, gimana kamu bisa menghidupi istri kamu? Dipikir istri kamu bisa membuat makanan sendiri seperti tumbuhan, fotosintesis gitu?"

Deva tertawa mendengar ucapan Namira. "Kan ortu aku kaya, Bu. Sebagai anak kita harus bersyukur, ortu kita sudah capek-capek nyari uang buat kita. Masa kita mau cari uang sendiri? Nggak bersyukur itu namanya." Deva tertawa lagi.

"Nggak gitu konsepnya, Deva! Kamu ini!" Namira refleks memukul punggung Deva.

"Loh, kok Ibu jadi menganiaya aku, sih? Aku laporin orang tua aku loh ...." Deva pura-pura meringis sambil mengelus punggungnya.

"Maaf, Deva. Ibu nggak sengaja. Perasaan tadi Ibu mukulnya nggak kenceng kok ...." Namira merasa bersalah.

"Oke, nggak akan aku laporkan sama papa. Tapi sebagai gantinya, besok kita nonton. Bagaimana?"

"Licik sekali kamu, Deva!"

***

Azka mengunjungi rumah orang tuanya, ia ingin menanyakan tentang kabar Namira kepada papanya.

"Gimana, Pa? Kira-kira dia ada di kota mana?" tanya Azka penuh harap.

"Sabar, Nak. Ini orang-orang papa juga sedang mencarinya. Kata mama kamu, Namira ada di kota Surabaya."

Adel memang sengaja berbohong kepada Kia. Ia mengatakan Namira ada di kota Surabaya. Ini demi kenyamanan Namira. Adel takut Azka akan mencari Namira.

"Surabaya kota yang luas. Beri waktu sedikit lagi. Nanti kita pasti bisa menemukannya."

"Baiklah, Pa. Terima kasih sudah mau membantu."

"Tak apa, Nak. Papa akan selalu mengusahakan yang terbaik bagi kamu." Fabian memeriksa jam tangannya. "Kamu tidak ke rumah sakit?" Fabian heran, biasanya jam segini Azka pergi ke rumah sakit.

"Aku lagi malas ngapa-ngapain, Pa ...."

Fabian menepuk pundak puteranya. "Jangan begitu, Nak. Kamu nggak boleh kehilangan semangat hidup. Selagi menunggu Namira, tetap fokus dengan hidup kamu. Kamu juga perlu menyibukkan diri. Bagaimana dengan rencana sekolah spesialis kamu?"

"Entahlah, Pa. Sebagai seorang suami aku merasa gagal." Azka menunduk.

"Azka, semua ada hikmahnya. Kegagalan itu bukan akhir segalanya, semuanya pasti akan membaik pada akhirnya. Kalau keadaan tidak membaik, artinya itu bukan akhir dari segalanya."

Azka hanya terdiam, merenungkan baik-baik nasihat papanya. Semoga semua yang dikatakan papanya benar.

***

Keesokan harinya, Deva benar-benar mengajak Namira nonton. Walau malas, akhirnya Namira tak tahan juga dengan paksaan Deva.

"Ibu mau nonton apa?" tanya Deva antusias. Ia senang sekali karena telah berhasil mengajak Namira nonton.

"Terserah kamu, Deva."

"Bagaimana kalau film horor?" Deva menunjuk salah satu poster film yang sedang hits, KKN di kotaku  (Kuliah Kerja Nikah).

"Jangan, Deva!" Namira refleks menolak sambil mengelus perutnya yang masih rata. "Ibu orangnya penakut. Nanti kepikiran sampai pulang. Mana Ibu tinggal sendiri."

"Ya sudah, kita nonton film romantis saja." Deva memutuskan sendiri, ia segera pergi mengantri tiket.

Bioskop itu ada di sebuah mall besar. Di sampingnya ada toko perlengkapan bayi. Namira tertarik untuk melihat-lihat.

"Deva, Ibu kesana sebentar, ya?" tanya Namira, sambil menunjuk ke arah toko.

Deva mengerutkan dahi, toko perlengkapan bayi? Nggak salah?

"Oh, iya, Bu. Silakan. Nanti kalau sudah dapat tiketnya aku nyusul."

Namira segera pergi ke toko yang dimaksud, ia amat senang melihat-lihat berbagai pernak-pernik bayi. Semua terlihat sangat imut dalam ukuran mungil.

"Nanti anakku laki-laki atau perempuan, ya?" Namira berkata seorang diri sambil mengelus perutnya.

Tiba-tiba seseorang memanggilnya. "Namira?"

Sontak Namira menoleh, ketika melihat siapa orang yang memanggilnya, ia buru-buru memalingkan muka.

Namira segera berjalan cepat ke arah eskalator yang ada di samping toko, dan menuruninya secara manual. Sesekali ia menoleh ke belakang, dan si pemanggil masih mengejarnya.

Namira tidak bisa berlari, mengingat keselamatan kandungannya. Saat ia hendak menuju pintu keluar, sebuah tangan menahan pundaknya.

"Kenapa kamu menghindari aku, Na?"

***

Azka dan NamiraWhere stories live. Discover now