17

2K 196 10
                                    

Pagi ini Abi bertugas menjaga lalu lintas di jalan sekitar sekolah Namira. Ia sudah bersiap menilang perempuan itu jika bertemu dengannya tanpa memakai helm, seperti kebiasaan Namira. Abi sudah lelah mengingatkan, banyak juga surat tilang yang ia berikan, tapi entah mengapa Namira selalu saja mengulangnya. Takut kerudungnya lepek, itulah alasan Namira.

Tiba-tiba Abi melihat tiga orang pelajar yang mengendarai satu sepeda motor. Satu pria membonceng dua wanita, mereka semua tidak memakai helm. Sudah begitu melanggar lampu merah pula.

Tanpa basa-basi, Abi segera menghentikan mereka.

"Minggir." Abi memberi mereka aba-aba agar menepikan motornya.

"Ada apa, Pak?" tanya cowoknya.

"Pakai nanya lagi. Kalian ini udah boncengan tiga, melanggar lampu merah. Nggak pakai helm lagi. Kalian pikir traffic light itu cuma aksesoris? Bukan lagi cabe-cabean ini, sih. Ada terongnya juga. Sambel-sambelan kayaknya." Abi bersiap mengeluarkan surat tilang.

"Yah, jangan ditilang dong, Pak. Nanti kami telat masuk kelasnya."

"Mana STNK-nya?" tanya Abi tak peduli. Ia terus saja menulis di kertas tilang.

"Nggak ada, Pak. Lagi digadaikan sama bapak saya. Duitnya dikasih pelakor." Si cowok menjawab dengan raut wajah sedih. "Jangan ditilang ya, Pak. Plis ...."

"Kamu tadi berangkat dari rumah?" tanya Abi sambil mengamati wajah pemuda itu.

"Saya kemarin nggak pulang ke rumah, Pak. Maklum, kemalaman nongkrong sama teman."

"Kamu mabuk, ya?" tanya Abi curiga. Ia sedikit mencium bau alkohol.

"Nggak, Pak. Suer." Cowok itu berkata dengan panik. Sementara dua gadis yang diboncengnya juga ikut panik.

"Coba. Kamu sebutkan isi Pancasila." Perintah Abi dengan tegas.

"Satu, em ... untuk semua."

Abi menahan tawa sambil menggeleng pelan. Ada-ada saja tingkah pemuda jaman sekarang. "Teruskan." Perintah Abi.

"Kemanusiaan yang adil dan rata." Pemuda itu berusaha mengingat lagi. "Tiga. Persatuan sosialita. Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh presiden. Lima keadilan sosial bagi seluruh warga. Enam ...."

"Pancasila ada enam, ya?" Abi menyela. "Oke. Teruskan."

"Enam ... Eng ..." Pemuda itu menoleh ke belakang. "Woi, bantuin woi ...." Tapi kedua gadis yang dimintai bantuan hanya menunduk takut.

"Enam apa? Ayo teruskan!" Abi bertanya dengan tegas.

"Enam, percaya pada qodho dan qodar." Pemuda itu menjawab dengan polos.

Abi tak dapat menahan tawanya lagi. Ia menepuk bahu pemuda itu. "Tes urin sana." Abi memanggil temannya untuk menangani pemuda teler itu.

"Kalian."

Kedua gadis yang dipanggil Abi segera berjingkat. Salah satunya malah menangis.

"Kamu kenapa pakai nangis? Saya nggak ngapa-ngapain kamu, ya." Abi menunjuk gadis yang perawakannya agak pendek.

"Sa-saya ...."

"Tenang aja, pacar kamu nggak akan ditahan. Cuma periksa urin saja." Abi berkata dengan nada berwibawa.

"Di-dia bukan pacar saya. Saya cuma temennya, eh tapi nggak seberapa akrab. Tadi saya cuma nebeng saja. Dia yang pacarnya ...." Gadis cengeng itu menunjuk gadis di sampingnya, gadis yang perawakannya agak tinggi.

"Benar kamu pacarnya cowok itu?" tanya Abi lagi.

"Bukan, Pak. Kami cuma FWB-an aja 'kok." Gadis itu membantah.

Azka dan NamiraWhere stories live. Discover now