35. Air mata dijalan Dakwah

1.2K 122 25
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

35. Air mata dijalan Dakwah

“Belum pernah aku berurusan dengan sesuatu yang lebih sulit daripada jiwaku sendiri yang terkadang membantuku dan terkadang menentangku.”

[Imam Ghazali]

****
Pagi itu, disebuah rumah sakit, seorang lelaki muda tengah berada diposisi tersulit dalam hidupnya. Ia sedang berada ditengah antara dua kewajiban. Suami dan mubaligh. Beberapa kali lelaki itu membuang napas. Menatap langit-langit rumah sakit, untuk menentukan pilihan apa yang akan ia ambil.

Para pencari ilmu tengah menunggunya ditengah kemegahan panggung syi‘ar. Namun, istrinya saat ini tengah berjuang lagi mempertahankan buah hatinya. Meski sang dokter mengatakan bahwa kram perut saat hamil tua semacam itu wajar. Namun ia harus tetap ada disamping sang istri.

Seorang menepuk pundaknya dua kali. Dia Yusuf, kakak iparnya. Seorang lelaki yang Gus Amir jadikan motivasi setelah ayahnya pergi.

“Gimana? Sudah membuat keputusan? Panitia penyelenggara menanti apapun keputusanmu,” ujar Yusuf kepada adik iparnya itu. Panita penyelenggara memang sudah diberitahu kalau Gus Amir sedang ada musibah. Mereka menunggu kabar keputusan apapun yang diambil sang Gus.

Gus Amir menggeleng lemah. “Belum tahu, Mas. Masih mau diskusi dulu sama Nduk Mila.” jawabnya.

Yusuf mengangguk. Ia paham apa yang dirasakan Gus Amir saat ini. Apapun keputusan yang adiknya ambil, ada hikmah dibaliknya. Apalagi ini menyangkut kewajibannya.

“Mir, dipanggil Mila.” kata Ning Almira yang baru keluar dari ruangan Ning Mila.

“Kasih tahunya pelan-pelan, ya, Mir. Kasihan Mila, takutnya dia malah pikiran.” lanjut Ning Almira. Ditinggal suami saat hamil adalah masa terberat yang pernah ia alami juga.

Gus Amir mengangguk lantas memasuki ruangan sang istri. Didalam sana senyum Ning Mila sudah menyambut dirinya yang tengah rapuh itu.

“Mas lama....,” ujar Ning Mila dengan cemberut. Tadi Gus Amir sempat meminta izin untuk konsultasi dengan Dokter nya.

Gus Amir mencium kening dan kedua pipi Ning Mila dengan lembut. “Maaf, ya? Gimana dedeknya? Masih sakit perutnya sekarang?” tanya nya beruntun.

“Enggak,” balas Ning Mila sembari mengelus perut besarnya. “Dedeknya sudah tenang, maaf ya, Mas, adek bikin repot lagi.” ucap Ning Mila pelan.

“Apasih, yang, ini anak Mas juga!” seru Gus Amir. Sangat kesal sekali jika Ning Mila bersikap seperti itu terus.

“Adek berapa hari dirawat?” tanya Ning Mila mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Mas minta tiga hari,”

“Dek...,” panggil Gus Amir pelan.

Ning Mila yang tengah memainkan tangan suaminya itupun menggumam sebagai respon. “Hm?”

“Mas ada undangan dakwah di Kudus, ada acara disalah satu universitas islam swasta disana, menurut adek gimana?” jelas Gus Amir secara lembut.

AMILA [Season 2]Место, где живут истории. Откройте их для себя