9. Tamu Spesial

1.8K 173 4
                                    

بسم اللّٰه الرحمن الرحيم

9. Tamu Spesial

“Yang dilihat belum tentu Fakta dan yang didengar belum tentu Nyata...”

****
“Ini dikali sama yang angka lima puluhnya dulu, dek.” Ning Mila mengajari Annisa dengan sabar. “Setelah itu hasilnya dibagi sama sepuluh,”

“Nisa coba dulu, kak!”

Beberapa menit kemudian. “Hasilnya benar begini?” Annisa menyodorkan bukunya kepada Ning Mila.

Dengan saksama wanita itu meneliti hasil pekerjaan adiknya. “Nah, benar seperti ini. Yang nomor dua sama tiga caranya sama,”

Selama hampir empat minggu tinggal di Magelang. Ning Mila jadi kenal banyak hal. Santri-santri suaminya disini juga tak kalah ramah dibanding Darrul Furqon. Argh! Berbicara mengenai Darrul Furqon, ia jadi kangen dengan keadaan disana. Sehari setelah ia sakit Gus Amir menuruti keinginan nya untuk menelpon sang Bunda. Dan ya, kata Ustadzah Laras keadaan disana baik. Cukup lama waktu itu ia berbincang dengan Umi dan Bunda nya. Ning Mila tidak sempat berbincang dengan Kakak nya karena hari itu kakaknya sedang berkunjung ke rumah mertua.

Ngomong-ngomong, soal kuliah. Ning Mila serta Gus Amir sudah mengambil keputusan. Gus Amir menghargai keinginan istrinya yang tidak ingin melanjutkan kuliahnya. Meski begitu, Ning Mila tetap belajar bersama suaminya ketika suaminya itu sedang ada waktu luang. Bahkan tak jarang, Gus Amir malah yang mengingatkan Ning Mila untuk belajar bersama.

Gus Amir juga sudah mulai mengajar lagi dipesantren nya diselingi dengan kuliah. Ning Mila pun sama. Ia ikut menjadi salah satu Ustadzah di An-nur atas usulan Ning Almira. Ia mengajar kitab Ta‘limul muta‘allim sedangkan Almira mengajar ilmu Faroidh. Sejauh ini belum ada oknum yang mengundang Gus Amir untuk berdakwah. Jadi suaminya itu tidak pergi jauh-jauh.

Selama hampir satu bulan menjadi istri, banyak susah senang yang Ning Mila alami. Dan ia tak merasakan itu sendiri karena Ning Mila selalu mengajak Gus Amir untuk bercerita. Tidak ada apapun yang keduanya tutup-tutupi. Gus Amir selalu tegas kepada istrinya tapi juga selalu bersikap lembut bahkan manja.

“Kak, Nisa sudah selesai, nih.” suara Annisa membuat Ning Mila tersentak.

“Eh, iya? Coba sini kakak lihat.” Ning Mila mengecek lagi pekerjaan Annisa.

“Kak Mila daritadi bengong terus, mikirin Bang Amir, ya?”

Ning Mila tersenyum malu. “Apasih, Nis?”

“Kalau boleh tahu, kakak pakai cadar mulai dari kapan?” tanya Annisa. Siapa tahu dia dapat pencerahan dari cerita kakak iparnya ini.

“Dari umur enam belas tahun,”

“Pas Bang Amir sudah mondok disana, ya?”

Ning Mila menggeleng. “Belum. Bang Amir mondok disana kakak sudah pakai cadar, kok.”

“Kakak pakai cadar terus?”

“Enggak,” Ning Mila tersenyum. Bahkan sekarang pun ia sedang tak memakai cadarnya. “Ini buktinya kakak sedang tidak pakai?”

“Ah, iya! Maksudnya kalau keluar rumah gitu?”

“Masih lepas pasang, Nis. Tergantung kemana kakak pergi,” ternyata Ning Mila belum kuat iman. Terkadang ada hasrat dalam dirinya untuk melepas cadar. Dia masih belajar dan belum sepenuhnya istiqomah.

AMILA [Season 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang