15. Berduka Bersama

1.8K 146 7
                                    

بسم اللّٰه الرحمن الرحيم

15. Berduka Bersama

“Allah rindu! Ujianmu bukan karena Allah marah, sakit hatimu bukan karena Allah benci. Dia hanya sedang rindu.”

****
Disetiap kisah. Disetiap perjalanan hidup seorang hamba, tidak akan terpisahkan dengan yang namanya ujian. Datangnya ujian itu bukan karena Allah marah ataupun benci, tapi karena Allah rindu. Allah sedang rindu kepada hambanya yang biasanya curhat, namun kini tak lagi datang pada-Nya.

“Ikhlas, ya?” bisik Gus Amir berulang kali didepan wajah sang istri yang berbaring miring membelakangi pintu ruangan. “Mas sudah mengikhlaskan semuanya, adek juga harus ikhlas...”

Air mata Ning Mila meluruh seiring dengan bisikan-bisikan suaminya. Sesekali wanita itu meringis karena perut nya masih sakit pasca keguguran. Dengan sigap, Gus Amir mengelus permukaan perut sang istri.

“Masih sakit perutnya, hem?”

Ning Mila tak menjawab. Ia masih sibuk menangis memikirkan hal-hal yang kemungkinan terjadi kedepan nya. Termasuk tentang kesetiaan sang suami. Ia cacat. Ia sudah tidak sempurna. Sejauh mana Gus Amir akan bertahan dengan wanita yang cacat dan merepotkan?

“Mas sedih kalau adek seperti ini,” Gus Amir berkata dengan tangan masih terus mengelus perut datar sang istri. Sementara tangan yang satunya menyeka air mata Ning Mila.

“Wallahi...Mas tidak akan meninggalkan adek, Mas akan selalu ada disamping adek, cepat sembuh, Humaira....”

Lelaki itu mengecup kening istrinya yang masih menangis. Sungguh, Gus Amir tak tega. “Tidur, sayang....jam tiga nanti harus terapi lagi, ya?” tutur Gus Amir.

Tiba-tiba saja Ning Mila menggeleng. “Adek tidak mau terapi.” ujarnya sangat pelan.

“Percuma...adek tidak akan sembuh,” sambungnya seperti berbisik.

“Siapa yang mengajari su‘udzon pada Allah, hem?” tanya Gus Amir lembut.

“Selamanya Adek akan seperti ini, Mas...Mas hanya akan buang-buang waktu dan uang kalau adek terapi, mending gak usah.” wanita itu terisak lagi.

“Ka--kalau Mas mau pergi dan menikahi perempuan lain yang lebih sempurna dan tidak cacat, adek ikhlas.” meski hatinya sakit, Ning Mila tetap mengatakannya.

“Ngomong apa, sih, dek?” tanya Gus Amir tak suka.

Pintu ruangan VIP ini terbuka dan menampilkan dua orang suster. Salah satu dari mereka meletakkan makan untuk pasien dimeja.

“Dua puluh menit lagi terapi, ya, bu?” ujar Suster berperawakan tinggi. Sekarang jam menunjukkan pukul 14.40 siang. “Tolong di rilekskan tubuhnya,”

“Terima kasih, sus.” ucap Gus Amir. Kedua suster itu tersenyum dan berpamitan.

“Makan sekarang, sayang?”

Ning Mila menggeleng. Ia menggerakkan tubuhnya hendak berbaring. Gus Amir sigap membantu.

“Mau duduk,” pinta Ning Mila.

AMILA [Season 2]Where stories live. Discover now