17. Bahagia dengan Dia

1.5K 154 6
                                    

بسم اللّٰه الرحمن الرحيم

17. Bahagia dengan Dia

“Nikmat yang paling berharga setelah nikmat iman dan islam adalah mempunyai teman yang baik.”

Umar bin Khattab

****
Tidak ada setetes air matapun yang keluar dari netra perempuan itu didepan makam anaknya. Gundukan kecil hampir tak terlihat disamping makam Ayah mertuanya.

Harusnya kamu ada diperut Umma, sayang. Bukan dikubur ini. Umma minta maaf, tidak bisa menjaga kamu dengan baik.

Andai bisa mengungkapkan keluh kesahnya, Ning Mila sangat ingin. Tapi ia tak mau menambah beban suaminya lagi.

“Namanya Asma, ya, Mas?” tanya Ning Mila. “Kok, tidak dikasih nisan?”

Gus Amir mengelus lengan istrinya. “Kata Umi Ema, tidak perlu dikasih nisan karena belum berbentuk bayi,”

“Kenapa dikasih nama?”

“Katanya sunnah, sayang.” sebenarnya tak tega melihat wajah istrinya yang menahan tangis.

“Mau pulang...” pinta Ning Mila.

Gus Amir mengangguk lantas berdiri. Tak lupa menuntun sang istri keluar makam. Keduanya terdiam didalam mobil selama beberapa menit.

“Adek kalau mau nangis keluarin aja, sayang! Jangan ditangan, nanti makin sesek,” ucapan Gus Amir membuat Ning Mila menatapnya dengan netra berkaca. Pria itu lantas memeluk sang istri.

Tangis Ning Mila pecah saat itu juga. Tangan lentiknya mencengkeram dada suami. Gus Amir membuka cadar Ning Mila supaya istrinya tidak engap. Lalu membersihkan ingus Ning Mila dengan lembut.

Beberapa menit diposisi seperti itu, akhirnya Ning Mila kembali duduk tegak. “Maaf, adek jadi nangis lagi...” ucap wanita itu.

Cup!

Satu kecupan mendarat dikening Ning Mila. “Wajar, kalau adek sedih, nihh...dada Mas siap jadi sandaran adek,” Gus Amir menepuk dadanya sembari tersenyum. Sedikit menghibur istrinya. Wanita itu tersenyum tipis.

“Kalau adek nyandar terus ke Mas, nanti Mas nyandarnya ke siapa?” tanya Ning Mila dengan suara bindengnya karena habis menangis.

“MS punya tameng banyak, yang!”

“Sombong, ihh!!”

Gemas. Gus Amir meraup wajah Ning Mila. “Sudah, kan? Atau mau disini terus?” candanya.

Ning Mila cemberut. “Mau pulang,”

“Yakin? Mumpung diluar ini, sekalian kemana gitu.”

Ning Mila menepuk lengan suaminya. “Jangan aneh-aneh! Dirumah sedang riweuh kerjaan,” omelnya.

“Iya-iya.” balas Gus Amir sambil tertawa.

Keduanya sampai di Ndalem setelah tiga puluh lima menit perjalanan. Suara lantunan Al-quran dari Umi Aisyah diacara Tahtiman ini menggema diseluruh penjuru pesantren. Sangat amat merdu.

AMILA [Season 2]Where stories live. Discover now