Dua garis merah

4.3K 281 19
                                    

Jangan lupa komen ya bestoy-bestoy durjana. Jangan mau jadi pembaca gelap wkwkw.

***
Happy Reading gaes!

"Pelan-pelan ya, non." Bik Ijah menuntun Ranna menuruni anak tangga. Gadis itu sudah bisa berjalan dengan benar. Namun dia masih sering merasakan nyari hebat.

Entahlah, pemulihan paska kejadian itu sangat lama. Ranna menuruni satu persatu anak tangga. Tak sengaja telinganya mendengar sebuah percakapan yang cukup membuatnya kaget.

"Kamu harus terus perhatiin Ranna, Satya. Apapun yang aneh kamu harus kasih tau papa," kata laki-laki bersuara berat. Suara yang tak asing lagi, suara si ayah.

"Jangan sampai Ranna hamil. Kalo pun Ranna hamil, kita harus segera gugurin." Ranna mendengar kalimat itu membeku, entah mengapa rasanya sangat nyeri. Terasa sebuah kekecewaan dalam hatinya.

Gadis itu yang tengah menggenggam tangan asisten pribadinya meremat kuat. Bik Ijah yang sadar hal itu, mengelus pundak Ranna.

"Kita balik lagi aja ya, Non," ajaknya. Ranna menatap Bik Ijah. Wajah setangah tua dan seduh.

Ranna melangkahkan kakinya, mengurungkan niat untuk turun kelantai satu. Ruang keluarga. Padahal gadis itu ingin bertemu Leo, ayahnya. Hitung-hitung memberanikan diri.

"Udah berapa kali papa ngomong kayak gini?" Satya menatap Leo tajam. Leo juga ikut menatap anak sulungnya itu.

"Kalo hal itu beneran kejadian gimana? Pas papa tau bayi itu udah gedek di dalam sana gimana?Masih tetep mau gugurin?" Sederetan pertanyaan keluar dari mulut putra sulungnya.

Leo mengangguk yakin
"Iya." Niat Leo sudah bulat, laki-laki paruh baya itu akan tetap melakukan pengguguran pada janin yang masih di wanti-wanti untuk tidak lahir.

Satya tersenyum perih, padahal hari ini ia ingin tenang melupakan semua ketegangan yang ia rasakan. Namun, semakin tegang oleh ulah Leo.

Satya yang sedari tadi duduk berhadapan dengan Leo kini melenggang pergi menuju kamarnya.

Muak rasanya ia harus melihat wajah laki-laki gila yang dia anggap ayahnya itu.

Cowok itu mengunci pintu kamar rapat-rapat. Ia berjalan menuju meja kerjanya, menatap sebuah buku kecil, dan membukanya.

Poto janin yang beberapa hari lalu ia dapatkan dari Dokter Dian. Foto usg itu ada dua, Satya membaginya kepada Kavandra. Berbagai penderitaan.

Satya mengelus gambar itu, hatinya terasa nyeri kala melihat mahluk kecil tak berdosa yang hadir karena sebuah musibah dan harus juga musna.

"Gue harus apa sekarang? Ngelindungin lo rasanya susah banget," gumamnya sembari menitikkan air mata.

"Tapi kayak mimpi gak sih." Satya tersenyum kecut.

"Lo tiba-tiba dateng tanpa permisi. Gak sopan tau, gue tuh om lo. Harus ada pemisinya." Cowok itu menyentil-nyentil gambar itu geram.

"Besok-besok harus bilang. 'Permisi Om Satya mau masuk' gitu ya. Biar gue gue gak kaget," kata Satya pada foto itu. Satya sudah mirip orang gila, berbicara sendiri. Seperti berbicara dengan mahluk hidup.

Cowok itu melangkahkan kakinya menuju tempat tidur dengan hasil usg yang masih ia pandangi.

"Gue bingung mau seneng apa sedih. Tapi gue tungguin lo lahir kok, dan gue janji bakalan lindungi lo dari Leo si sialan itu." tekatnya.

Cowok itu memeluk foto itu, dan memejamkan matanya. Mengistirahatkan tubuh yang begitu letih, hati yang terus terguncang, pikiran yang terus kacau.

Satya hanya bisa berharap jika ini hanya simulasi mimpi.

RANNA • END • TELAH TERBITWhere stories live. Discover now