chapter 60

12.8K 1K 229
                                    

60. Terbunuh kehilangan

***

"Kita gak bisa main lagi ya, Za?" lirih Naren menatap sendu mobil ambulance yang akan membawa Reza ke Jakarta.

"Harus kuat, Kak. Demi Adek kamu, ya?" Suara Rafisqi terdengar membuat Naren menoleh kearah sumber suara, disini Rafisqi dan Reynandlah yang paling terluka.

"Ayo, kuat!" Naren melihat Rafisqi memapah Reynand untuk masuk mobil.

"Gua mimpi buruk?" tanya Naren.

"Gua gak bisa nangis, Vin. Kenapa ya? Padahal gua lagi kehilangan, apa gua jahat kalau gua kehilangan tapi gua gak nangis?" tanya Naren kepada Ravin yang sedang merangkul Damar yang terlihat sangat lemas.

Jika diingat-ingat, Damar lah yang selalu siaga jika Reza membutuhkan apa-apa. Tak jarang Ibu dari Damar mengirimkan makanan untuk Reza, yang pada intinya Reza sepeti saudaranya Damar.

"Lo kuat tapi kalau emang sesek nangis Ren, nangis!" tutur Ardan.

Ardan terlihat paling bisa menguatkan kelima sahabatnya. Dia yang siap merangkul, memeluk dan menyemangati semuanya, tapi Ardan juga manusia yang bisa merasakan kehilangan.

Tangisannya pecah tak kala saat melihat jenazah sahabatnya sudah ditutup oleh kain berwarna putih diruangan itu, tapi lagi-lagi Ardan harus jadi penguat.

Kedua mata Naren mengamati petugas yang akan menutup pintu mobil jenazah. Naren menggelengkan kepalanya kuat dan menoleh kepada Ardan.

"Ardan, sahabat gua udah sehat loh? Itu bukan Reza kan?" tanyanya dengar nada yang bergetar.

Kini Naren baru menyadari dengan sepenuhnya bahwa sahabatnya telah meninggalkan semuanya.

Ardan menunduk pilu, kedua matanya kembali berkaca-kaca. Apa ia Reza pergi? Apa chat dari Rio tiga jam yang kalu itu nyata? Apa ia sedang bermimpi? Halusinasi? Atau nyata?

"Gua gak bisa, gua gak mau, gua gak siap," cetus Naren. Tangan kanan Ardan merangkul Naren, sedangkan tangan kirinya merangkul Ravin yang sedang merangkul Damar. Chaka? Hanya bisa berdiam dengan pandangan kosong, tak ada suara tak ada protesan.

"Chak, inget Allah jangan melamun. Kita semua sama, kehilangan." Chaka terkekeh, menoleh kearah Abril yang menunduk disamping Ardi.

Dengan cepat Chaka menarik kerah baju Abrial. "PUAS LO SEKARANG! LIHAT! SAHABAT GUA PERGI! PUAS! GARA-GARA LO SAHABAT GUA GAK PERNAH BAHAGIA BAHKAN SAMPAI AKHIR HAYAT NYA!" teriak Chaka.

Abrial tak membalas membiarkan Chaka memaki-makinya, begitu juga Ardi. Ardi tak akan membela, karena anaknya memang ada salah.

"PUAS LO HANCURIN HATI SAHABAT GUA! PUAS BANGET YA LO. GIMANA? MASIH MAU REBUT SEMUA YANG DIA PUNYA? REYNAND TANTE SALSHA? HAHAH ANJING YA LO!" Chaka melepas tangannya kasar dari kerah baju Abrial dan berdecih.

"Dia pergi tanpa bahagia, Al.." lirih Chaka menatap Abrial dengan sayu.

"Sekarang gua nanya sama lo, apa lo puas? Puas kan? Dengan kayak gini lo bisa ambil semua perhatian Reynand dan juga Tante Salsha tanpa ada nya penghalanga? Reza mati, lo bahagia, kan?"

"GUA GAK SEJAHAT IT-

"KALAU LO GAK JAHAT GAK MUNGKIN LO BUAT SAHABAT GUA SENDIRI!" teriak Chaka lepas dengan air matanya yang sempat ia tahan dengan susah payah.

"Lo ja-hat Al.. jahat!"

Ardan mendekat, menarik tangan Chaka dengan pelan. "Gak sepenuhnya salah dia. Udah, Reza gak butuh bacotan kayak gini. Sekarang.." Ardan menghela nafas.

"Ayo ikut ngantar dia pulang kerumahnya, seperti yang dia mau," lirih Ardan.

Chaka meringis, apa benar yang diinginkan Reza itu bermaksud pada pulang yang mengarah pada hal yang lain?

Alvrenza Shaqeel || ENDحيث تعيش القصص. اكتشف الآن