chapter 41

6.7K 974 80
                                    

41. Jakarta dan lukanya

***

Disebuah cafe bernama cafe 'Adresta' Damar, Ravin, Ardan dan Naren berkumpul. Mereka memang memutuskan nongkrong untuk membahas kemana perginya Reza, setelah kemarin pergi tanpa berbicara.

"Ahhh Eza kemana sih?" gerutu Damar yang sudah beberapa kali mengirimkan pesan dan menelpon nomor Reza, namun nomor itu tak aktiv.

"Udah coba ke kos-an nya?" Damar mengangguk.

"Tadi pulang sekolah gua sama Ardan kesana, malam juga gua kesana tapi kamar kos-an nya dikunci," balas Damar.

"Kok tumben Eza gak ngasih kabar kalau mau pergi," heran Naren.

"Eza marah meureun karena lo pada  ribut," sambung Naren hingga fokus keempatnya menoleh kepada Naren.

"Masa iya njir? Eza gak baperan, gak kayak lo, Ren," celetuk Chaka.

Karena menurut Chaka, Reza bukan tipikal orang yang mudah baperan dan hilang seperti ini.

"Bisa aja kan?"

"Enggak. Lo ngawur, Ren." Naren menghela nafas.

"Yaudahlah serah, omongan gua emang gak pernah kalian percaya," ucapnya.

"Karena gak masuk akal aja kalau Eza pundung, dia gak kayak gitu," jelas Ravin takut Naren ngambek.

"Iya gua doang yang kayak gitu," ketus Naren sebenarnya Naren kesal karena apapun yang keluar dari mulutnya tak pernah mereka dengar, mungkin karena sipat Naren yang kayak anak-anak jadi mereka enggan membenarkan. Namun jika dilihat dari sisi lain, Naren juga sama seperti mereka lelaki berusia 17 tahun yang sedang mencari jari diri.

"Lo jangan ikut-ikutan bikin pusing deh, Ren. Cukup kita pusing nyari si Reza aja, lo diem!" ucap Ardan.

"Kok gua bikin pusing? Bukannya dari tadi gua diem? Bahkan ketika gua ngomong aja gak pernah tuh kalian denger," balas Naren.

"Ren.." tegur Ravin.

"Apa? Mau nyuruh gua diem lagi? Kenapa sih, gua gak pernah dibiarin ngeluarin pendapat gua?"

Ravin menghela nafas. "Tenang ah, lo jangan kayak gini. Kok marah-marah, udah ya?" Naren diam dan menundukan kepalanya.

Ravin menatap wajah muram Naren. "Kita gak maksud gak dengerin omongan lo, kita cuma lagu nyari jalan tengahnya karena emang gak mungkin Eza pundung karena tadi pagi kan? Kan lo tau Eza seperti apa? Naren paham?" Naren mengangguk patuh dan Ravin menghela nafas lega.

"Dasar bocil," lirih Chaka yang langsung mendapat injakan dari Ravin.

"Sakit sial!"

"Yaudah. Jadi gimana? Gak biasanya Eza ngilang gini, biasanya dia paling gak mau kemana-mana sendiri, kan?" tanya Damar.

"Nyari kemana coba? Lagian ada-ada aja tuh anak," kesal Ardan.

"Gua khawatir aja dia kenapa-napa apalagi dilihat tuh anak kayak orang yang lagi depresi, banyak pikiran kayaknya," sambung Ravin.

Chaka menatap satu persatu sahabatnya itu. "Kenapa lo natap kita? Lo tau sesuatu?"

"Gua tau dimana letak permasalahan Eza, bro.." ucap Chaka.

"Apa?"

"Pak Rey." Sukses membuat mereka diam.

***

Reza membuka helmnya, memandang rumah besar yang terpampang nyata didepannya. Reza tersenyum tipis.

"Mas Eza? Masyaallah, Mas." Dengan cepat lelaki yang sudah berumur itu membuka gerbang dengan cepat, dan menghampiri anak majikannya yang sudah lama tak pulang.

Alvrenza Shaqeel || ENDWhere stories live. Discover now