51

1.2K 256 23
                                    

Segalanya terasa ringan.

Vyradelle merasakan tubuhnya ringan, bagai ditelan hampa namun pada saat yang bersamaan seakaan berada di antara tekanan. Suara di sekeliling setiap detiknya semakin kabur. Malah, suara retakan-retakan kecil nan halus lah yang terdengar dari segala arah, begitu aneh dan janggal. Lalu retakan nyata menjalari lantai pijakan, terus merambat ke dinding-dinding istana, melingkupi pilar-pilar hingga mencapai langit-langit. Suara pecahan kaca terdengar tiba-tiba, disusul suara pecahan lain dari berbagai arah, terus hingga suara itu terdengar menjauh.

Ketika ketegangan menyergap Vyradelle, retakan-retakan itu justru menjadi semakin nyata. Menjadi debu. Perlahan, sedikit demi sedikit, seakan dihembus angin, segala yang ada di sekitarnya melebur di udara, menjadi bagian-bagian kecil yang melayang dan lenyap perlahan.

Titik mulanya ialah tempat ia berada, tempatnya dan Alec sekarang berdiri. Istana yang memudar diikuti oleh segala tanaman, pepohonan, bahkan rerumputan. Suara-suara itu tak perlu menjadi nyaring dan memekakkan telinga untuk jadi mengerikan.

Bahkan langit.

Vyradelle terkesiap kala hamparan biru di atasnya ikut memudar. Seperti lukisan yang dihapus dan menampakkan media yang gelap namun tidak cukup gelap untuk dikatakan hitam.

"Vyradelle."

Panggilan itu membuatnya tersentak menoleh. Teringat akan keberadaan Alec di hadapannya. Namun kemudian ketakutan lain muncul kala Alec ... pemuda itu juga menjadi bagian dari kehancuran ini.

"Alec, kau ..." Vyradelle hampir tak bisa berkata-kata. "Kau memudar."

Lalu tatapannya yang selalu tajam itu kini dihinggapi keheranan yang lebih mirip keterkejutan.

"Kau melihatnya?"

Pertanyaan itu terdengar janggal di pendengaran Vyradelle.

"Apa maksudmu?" Ia bertanya kembali dengan gusar. "Tentu saja aku melihatmu sekarang, seperti aku melihat sekeliling yang sedang terjadi saat ini."

Ketegangan jelas tergambar pada wajah Alec. Ia mendekat dengan cepat. Kedua tangannya memeggang pundak Vyradelle erat. Dan iris biru itu menatapnya dalam dan cermat, hanya untuk menjelma menjadi tatapan penuh kengerian.

"Dan kau tidak memudar," Alec berucap dalam. Suaranya semakin gusar kemudian. "Vee, kau sedikitpun tidak memudar!"

"Apa maksudnya itu?!" Vyradelle balas berseru. Rautnya sudah pucat dan ketakutannya tidak terbendung. "Apa kau yang sebentar lagi menghilang ini adalah hal baik sementara aku yang tetap-"

"Aku akan kembali," Alec memotong kalimat Vyradelle cepat. "Aku memudar karena aku meninggalkan dunia ilusi ini. Aku akan bangun. Sementara kau terlihat akan menetap di sini sementara segalanya hancur."

Vyradelle membisu. Pikirannya terasa kosong seketika.

"Bagaimana ..."

Bagaimana kau berhasil keluar?

Adalah apa yang ingin Vyradelle suarakan. Namun kata-kata dikalahkan oleh kelu yang dihasilkan perasaan mengerikan itu.

Namun Alec seakan mengerti. Sebab berikutnya ucapannya menjawab pertanyaan Vyradelle yang tidak sempat diutarakannya itu. "Ketakutanmu adalah apa yang membuatmu lemah. Pada saat aku menyadari semua ini, hanya ada keinginan untuk menghancurkan dan pikiran seperti itulah yang melawan. Sedangkan kau, kau takut pada kehancuran di depanmu."

Kalimat itu benar sepenuhnya. Bagai paparan kebenaran yang diingatkan kembali. Tapi itu hanya membuatnya semakin buntu, tidak tahu harus melakukan apa. "Aku ... lemah?"

"Pada saat ini, ya, kau sangat lemah," Alec mendesis, membuat Vyradelle sedikit terkejut pada jawaban terus terang itu. Tapi cengkeraman di pundaknya mengeras dan tatapan netra biru itu menyatakan sebaliknya. "Tapi kau pernah membuatku lengah, melawan sihirku hingga tak menyakiti dirimu. Kau tak tahu aku bisa jadi sekuat apa pada saat itu, maka hal yang sama berlaku padamu."

Lalu ingatan itu muncul kembali dalam benaknya. Pertemuannya dengan Alec yang sempat ia pikir merupakan pertemuan pertama mereka. Ketika Alec menyerangnya dan Vyradelle menangkis bahkan membalas.

"Apa yang kau lihat sekarang ini tidaklah nyata," Alec kembali bersuara. "Kau tahu apa yang nyata? Bahwa kau berhasil menyakiti Quintessa. Bahwa tanpa keterikatanmu padanya, kau bukan sosok yang mudah ia kalahkan. Saat ini, satu-satunya yang melemahkanmu adalah ketakutanmu."

"Aku juga pernah hidup di kerajaan, tinggal di istana." Kali ini Vyradelle berhasil bersuara lugas. Ia membalas tatapan Alec penuh, sementara pemuda itu terdiam atas kata-katanya. "Aku melihat kerajaanku hancur, sangat hancur hampir tidak bersisa. Lalu sekarang itu terjadi di istanamu-"

"Ini palsu!" Alec menyentak, nadanya seakan berusaha menarik Vyradelle pada kesadaran. "Apakah sulit mempercayai bahwa ini palsu? Kehancuran itu tidak menimpa istana di kerajaanku. Lupakan semua masa lalumu. Pikirkan apa yang terjadi sekarang. Lawan. Pikirkan semua yang membuatmu kuat. Hanya itu yang akan membuatmu berhasil."

Pegangan Alec di kedua pundaknya terasa merenggang. Ketika Vyradelle menoleh, ia terkejut mendapati telapak tangan itu semakin transparan, diujung kekosongan.

"Jangan takut!" Sentakan Alec kembali membuat Vyradelle menatapnya. "Lagipula bukankah kita lebih mirip seperti musuh? Kalaupun ini hal buruk bagiku, tidakkah aneh bagimu menjadi takut? Sekarang, aku hanya akan bebas, tidak ada hal buruk tentang ini. Kau tinggal berusaha untuk mampu."

Di tengah situasi seperti ini, dengan aneh, kalimat Alec mengganggu Vyradelle dengan cara yang lain.

"Musuh?" Ia tidak tahan untuk mempertanyakan. "Apakah kau menganggapku musuh? Setelah kau-aku yakin-telah mengingat semua? Apa yang terjadi bertahun-tahun lalu ..."

"Aku ingat," Alec menjawab cepat. Namun suaranya melunak, begitu pula tatapannya. "Tapi bukan berarti kau akan peduli-"

"Tentu saja aku peduli!" Kali ini giliran Vyradelle yang menyentak, sementara Alec diam menatapnya. "Bagaimana mungkin tidak? Bahkan meski aku tidak ingat hal yang terjadi dahulu pun, aku tidak bisa abai!"

Satu sudut bibir Alec terangkat sedikit. Kali ini ia sudah sangat pudar. "Kalau begitu kurasa kau sudah menemukan keberanianmu, alasanmu untuk melawan takut."

"Itu tidak ada hubungannya."

"Tentu saja ada." Alec mendengus. "Kalau perkataanmu itu benar, kau akan berusaha dan akan berhasil."

"Dan jika tidak?" Vyradelle berkeras. Bukan karena ia tidak ingin berhasil, bukan karena ia ingin membantah Alec seperti waktu-waktu sebelumnya. Tapi karena keraguan yang tidak terelakkan.

"Aku tidak akan senang."

Vyradelle mengernyit. "Tapi itu tidak berpengaruh apapun padamu. Mungkin kau hanya akan kesal."

"Oh, jadi si keras kepala ini telah menjadi si pesimis lemah?" Alec berdecih. "Ketika kau katakan peduli, kupikir kau mengerti sampai di sana."

"Ketika kukatakan peduli artinya aku tidak ingin kau mati."

"Tapi yang lebih mendekati mati saat ini adalah kau, Vyradelle." Jawaban itu cukup menyentak Vyradelle untuk yang ke-entah-berapa-kalinya. Alec menatapnya serius. "Kecuali kau berhenti bersikap takut, kecuali kau mau berusaha keluar, kau akan tetap di sini sampai dunia ini menjadi hampa. Terlalu lama dan kau akan mati, kecuali kau buktikan kata-katamu itu bahwa kau peduli. Karena aku akan sangat tidak senang jika kau tidak berhasil keluar."

Semua semakin pudar, melebur di udara, namun tidak ada yang sedekat Alec dengan kekosongan. Pemuda itu telah hampir menghilang. Tubuhnya tembus pandang dan tidak akan terlihat apabila Vyradelle tidak menatap matanya, iris biru yang selalu dingin namun kali ini terlihat ... hangat. Bukan dalam artian ramah dan bersahabat, tetapi lebih mirip dengan keyakinan, di mana tatapan meremehkan yang selalu ia berikan pada Vyradelle kali ini tidak ada di sana.

"Aku akan menunggu," Alec beruara lagi. Bahkan suaranya tidak lagi terasa nyata. Hanya berjarak satu kalimat sebelum ia menghilang sepenuhnya, dan Vyradelle bergumul dengan semua ucapannya. "Dan kau tahu aku benci menunggu lama."

TBC

the CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang