26

1.7K 317 24
                                    

"Ternyata tempat ini tidak seperti desa terpencil sama sekali." Eliana berdecak kagum melihat kamar barunya. Tidak semewah kamarnya di istana memang, tapi baginya kamar ini tidak kalah bagus.

"Kamar kita memang dipersiapkan orang-orang suruhan Ayah," Eliano menjawab. Ia merebahkan punggung di kasur Eliana, menggunakan satu lengannya untuk menutupi wajah.

"Tapi di luar juga tidak buruk sama sekali. Bangunan ini tidak kalah bagus dengan kediaman para menteri di ibukota," balas Eliana. Ia berlangkah menyisir kamar, memperhatikan setiap perabot dan benda-benda yang tersusun apik. "Sepertinya aku bakal betah."

Eliano menyingkirkan tangannya dari wajah. "Aku, sih, bakal rindu akademi," katanya. Ia melanjutkan. "Tapi aku suka alam di sini. Jauh lebih sejuk. Ayah benar, istana memang agak sesak."

"Hmm... Tapi aku lebih suka di istana. Karena ada Ayah dan Ibu." Eliana membuka salah satu almari besar di sudut ruangan, menampilkan sederet gaun dan beberapa sepatu di dasar almari itu. Ada meja rias di sebelahnya yang ketika lacinya dibuka, beragam jenis perhiasan dan aksesoris mahal ada di dalamnya. Eliana berdecak. "Mereka pikir kita ke sini untuk berpesta, ya?"

"Kenapa?" Eliano meneleng pada saudarinya, masih tidak beranjak dari posisi berbaring di atas ranjang. "Biar kutebak. Mereka menyiapkan perhiasan."

Eliana hanya mengendikkan bahu. Ia lantas menutup laci dan almari seraya berbalik badan, bersidekap memandang kembarannya.

"Keluar."

Kedua alis Eliano menyatu. "Enak sekali bicaramu begitu."

"Eliano, aku mau tidur," Eliana merengek. "Kau pergi ke kamarmu saja. Aku ngantuk."

Eliano yang mendengar itu segera bangkit dari posisinya. Ia duduk memandang adik kembarnya dengan dahi berkerut. "Ini masih pagi dan kau bilang kau mengantuk? Itu bukan karena kau ... sakit lagi, 'kan?"

"Bukaaan." Eliana memandang Eliano dengan wajah masam. "Kamar baru itu ... entah kenapa selalu membuatku ingin tidur."

"Oh," Eliano menjawab datar. "Nanti mau jalan-jalan?"

Eliana mengernyit. Ia lantas mendekati ranjang kemudian menghempas diri dengan posisi telungkup di sana, di sebelah Eliano. "Boleh," jawabnya.

Eliano diam selama beberapa saat, nampak berfikir. "Kau pikir berapa lama sampai tempat ini juga terdampak kerusakan dimensi?"

Mendengar itu, Eliana mengangkat kepalanya. Ia menoleh pada kakak kembarnya yang duduk sambil menunduk memandangnya.

"Entahlah," jawabnya. Ia menambahi, "Mungkin tidak akan."

"Yah, mungkin." Eliano menaikkan kedua alis. "Tapi bagaimana kalau itu terjadi."

Eliana mendengus. "Aku tidak mau memikirkan itu."

Ia lantas kembali menjatuhkan wajahnya ke bantal.

"Perihal kau yang saat itu tidak sadar menuju kastel itu juga masih belum jelas sampai sekarang kenapa itu bisa terjadi," tukas Eliano lagi.

"Eliano, lebih baik kau pergi ke kamarmu saja. Tidak usah menambah beban pikiran," ketus Eliana tanpa mengubah posisinya.

Eliano menghembus nafas kasar. Ia malah kembali menghempas punggungnya di tempat tidur, membuat Eliana kontan menoleh.

"Ngapain kau?!"

"Ingin menumpang tidur," jawab pemuda itu sekenanya. Ia malah menutup wajahnya dengan satu lengan.

"Tidak boleh!" Eliana meraih bantal, lantas memukuli kakak kembarnya itu membabi buta. "Pergi ke kamarmu sendiri!"

Eliano langsung menangkap bantal itu. Lalu meletakkannya di bawah kepala dan berbaring memunggungi sang adik. Ia terkekeh jahil. "Terima kasih bantalnya."

the CastleWhere stories live. Discover now