46

1.3K 269 14
                                    

"Bicara tentang motivasi," Aesbral menggerutu sambil menyerbu masuk ke dalam ruangan. "Memangnya tahu apa dia?"

Pintu terbanting tutup. Aesbral bersidekap menatap Orbash Chrosionet yang duduk di meja kerja. Pria tua itu memandang cucunya dengan kedua alis terangkat. Di sebelahnya, seperti biasa, berdiri Badvi yang langsung melempar tatapan seakan Aesbral adalah makhluk paling berdosa.

"Bicara apa kau, Aesbral?" Orbash Chrosionet bertanya dengan dahi berkerut, penasaran.

"Dia bicara tentang Putri Eliana, Tuan," Badvi membalas tanpa diminta. Ia menatap Aesbral penuh penghakiman. "Kau memang makhluk tidak tahu diri yang sudah diberi kehormatan seorang putri raja yang baik hati, tetap saja besar kepala."

"Tiga hari!" Aesbral menggerutu sendiri, tak mempedulikan ocehan asisten kakeknya itu. "Tiga hari sudah dia menganggap dirinya temanku, dan tiga hari waktu berlatihku diganggu!"

Orbash Chrosionet melihat itu dan hanya mendengus geli. Ia tertawa kecil kemudian.

"Masalahnya kau tak pernah memintanya berhenti, Aesbral," ujar Orbash Chrosionet tenang.

Aesbral yang mendengar itu sontak menoleh. Ia menatap sang kakek seolah baru saja mengatakan hal paling tidak masuk akal yang pernah ada.

"Kakek tak mungkin serius. Memangnya bagaimana caraku meminta seorang putri raja terkuat alam semesta untuk menjauh?" dia bertanya frustasi, dengan mata memincing tak senang.

"Putri Eliana itu baik sekali ... kalau kau berterus terang bahwa kau terganggu dia tak akan marah dan hanya mengerti, Aesbral," Orbash Chrosionet menjawab.

"Seolah kakek tahu pasti itu," Aesbral bergumam sambil mendengus.

"Memang kakek tahu, kita berdua tahu," balas sang kakek lagi. "Kau hanya tak mau mengatakannya. Pikirkan kebenarannya."

***

"Sudah tak sakit sama sekali."

Alec mengerutkan dahi. Bersandar di daun pintu kamar itu sambil bersidekap, ia menatap Vyradelle heran.

Gadis itu telah sembuh. Luka-lukanya menghilang tak berbekas. Arabella dan beberapa obat-obatan lah yang mengobatinya. Namun hal itu juga yang justru menjadi sumber keheranan Vyradelle. Mengingat kembali ucapan Ratu Penyihir itu, seharusnya ia yang berasal dari dimensi asing tidak akan bisa disembuhkan secepat ini. Tubuhnya kebal terhadap sihir dari demensi lain dan penyembuhan menggunakan sihir tak akan selesai semudah ini.

"Kau tak senang?" Alec malah menjawab sekenanya.

Vyradelle yang mendengar jawaban itu mengernyit. "Kau tak berpikir ini aneh? Terakhir kali ibumu mengobatiku setidaknya akan terasa sakit. Ini sama sekali tidak dan malah lebih cepat."

"Terakhir kali aku membuatmu lebih parah dari yang barusan," Alec berucap tenang. "Wajar saja."

Tapi ucapan itu hanya membuat Vyradelle semakin bingung, tak mengerti. Sebab mereka berdua tahu, luka yang Alec berikan di malam ia membawa Vyradelle hanya semata melemahkan. Alec tak menyertakan sihir untuk memperparah keadaannya, justru ia menggunakan sihir agar reruntuhan tajam di bawah tidak terlalu menyakiti Vyradelle ketika jatuh. Sesuatu yang jauh berbeda dari apa yang baru terjadi.

"Sebentar lagi pelayan akan datang. Tak perlu keluar dulu karena mungkin saja rasa sakitnya tidak terasa karena ibuku menggunakan sihir itu kali ini."

Ucapan yang sepenuhnya meragukan bagi Vyradelle, namun tanpa ia tahu jugalah tidak berbeda dengan Alec. Tetapi pemuda itu memilih menyimpannya sendiri. Berbalik badan dan keluar dari tempat itu. Pada waktu yang bersamaan dengan tertutupnya pintu kamar, seorang pelayan muncul membawa troli berisi makanan dan obat, hendak masuk.

the CastleWhere stories live. Discover now