9

2.3K 431 8
                                    

BRAK!

Vyradelle tersentak mundur. Dahinya berkerut dalam, memandang sebuah pintu batu di hadapannya penuh keterkejutan.

"Apa itu barusan?" bisiknya pada diri sendiri.

Tatapan Vyradelle beralih pada sebuah lingkaran berisi ukiran rumit di sebelah gagang pintunya. Satu tangannya terangkat menyentuh ukiran itu. Lalu dengan sekuat tenaga mendorong kembali pintu itu agar membuka.

Akan tetapi usahanya kali ini sama sekali tidak membuahkan hasil. Berbeda dengan sebelumnya yang meski pada akhirnya pintu batu itu tertutup paksa Vyradelle berhasil membuka sedikit, menciptakan celah kecil yang lebarnya kurang dari setengah jengkal. Namun kali ini, pintu batu itu justru diam, tidak bergerak sedikitpun.

Lalu sebuah pertanyaan melintas di benaknya.

Kalau begitu, mengapa pintunya tertutup sendiri tadi?

Mengapa seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam?

Dan sempat ada aura asing yang sangat kuat...

Lalu, ucapan Wanita Asap menggema di benaknya. Tentang peringatan untuk tidak membuka pintu itu sedikitpun. Bahkan larangan untuk sekadar penasaran akan sesuatu di baliknya. Tapi bagi Vyradelle, peringatan Wanita Asap itu hanya membuatnya semakin yakin ada hal yang tidak bisa dianggap remeh yang berada di balik pintu itu.

Seolah-olah ...

Tunggu.

Punggung Vyradelle seketika menegak ketika teringat sesuatu. Segera ia berbalik dan berlari menuju perpustakaan kastel. Sebuah pelita ia sambar untuk menerangi jalannya.

Tiba di tempat tujuannya itu, Vyradelle meneliti setiap bagian perpustakaan terutama di bagian sihir dan dimensi. Mencari sebuah buku yang tengah ia pikirkan saat ini. Satu-satunya benda yang mungkin dapat menjelaskan tentang pintu batu berukiran aneh itu.

"Portal, sihir," Vyradelle bergumam-gumam seraya terus mencari di antara banyaknya buku. "Dimensi--"

Dan gerakan tangannya terhenti. Vyradelle menarik keluar sebuah buku tua berwarna cokelat. Dibacanya judul besar yang tertulis di sampul kulit buku yang mulai usang itu.

Portal dan Lintas Dimensi.

Vyradelle langsung memposisikan tubuhnya duduk di lantai kastel. Halaman pertama ia buka, dan sebuah lambang ukiran terpampang memenuhi halaman itu, membuat Vyradelle langsung teringat pada ukiran rumit di pintu batu misterius.

***

"Jangan ada yang masuk!" titah Alec saat dilihatnya beberapa orang pelayan mengikuti dari belakang menuju kamar Eliana. Mereka semua tampak cemas melihat gadis dalam gendongannya itu tidak membuka mata.

Alec menutup pintu kamar Eliana rapat, berjalan mendekati ranjang, kemudian membaringkan adiknya di sana perlahan dan berhati-hati.

Kamar itu hening, hanya diisi Eliana yang seolah tertidur, dan Alec yang diserang kegundahan. Ia tidak membiarkan seorang pelayan atau tabib penyihir satu pun memeriksa keadaan Eliana karena ia tahu, tak ada akan bisa memulihkan kondisi gadis itu selain ayahnya, raja penyihir.

Alec berlutut di sebelah ranjang Eliana. Diletakkannya satu tangannya di dahi adiknya, kemudian menutup matanya rapat. Dia sedang berusaha mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam adiknya. Tapi usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Apa yang ia rasakan justru adalah keberadaan sebuah sihir seperti tameng yang menaungi Eliana dari dalam.

"Alec!"

Suara berat itu berhasil membuat Alec kembali membuka matanya. Ia langsung berdiri di tempat saat dilihatnya ayah bersama ibunya sudah ada di kamar.

"Apa yang terjadi?" Zack bertanya dengan nada penuh penekanan. Matanya menghunus tajam, tampak marah, tetapi amarah yang dapat Alec lihat bukan ditujukan untuk dirinya.

Di sisi lain, Arabella langsung berjalan cepat menghampiri ranjang. Ia duduk di pinggirannya kemudian mengelus surai Eliana. Ketakutan dan perasaan cemas menyergapnya. Arabella meletakkan satu tangannya pada dahi Eliana yang dingin, kemudian melakukan sesuatu yang Alec lakukan sebelumnya.

"Dia kehilangan sebagian ingatannya tadi," jawab Alec kaku. "Lalu dia pingsan."

Zack melangkah mendekati Alec. "Ceritakan yang sebenarnya terjadi. Secara detail."

"Saat Ayah dan Ibu pergi dari aula pada lagu kedua, kami bertiga berbincang dan membahas tentang Eliana yang pernah memintaku menjadi pengawal pribadinya," mulai Alec. "Tapi Eliana bilang dia tidak ingat melakukan itu, dia bahkan sampai tampak agak ketakutan. Tapi kemudian dia marah dan meninggalkan aula karena mengira aku dan Eliano bercanda."

"Lalu?"

"Kami menyusulnya, kemudian memberitahunya bahwa aku dan Eliano tidak bercanda. Kesalahanku adalah berbicara tajam. Sepertinya aku menakutinya. Lalu dia menangis dan benar-benar ketakutan. Dia juga bilang, dia sempat lupa mengapa tadi meninggalkan aula tanpa kami."

"Mengapa dia bisa pingsan seperti ini?" tanya Zack lagi.

"Aku tidak tahu," jawab Alec. "Eliano memeluknya dan berusaha menenangkan, kemudian dia pingsan begitu saja. Hidungnya juga mengelurkan darah, tapi sudah berhenti."

"Zack," Arabella memanggil. Dengan suara pelan namun terdengar di sepenjuru ruangan karena nadanya yang sangat jelas menyuarakan bahwa ia merasa cemas. Ditatapnya Zack beberapa saat dengan tatapan penuh arti, seolah sedang bertelepati.

Zack kembali menatap Alec. "Di mana Eliano?"

"Pergi mencari Ayah dan Ibu." Kemudian pungguh Alec menegak, teringat suatu hal. Ditatapnya Zack dengan tatapan penuh pertanyaan. "Karena kami tadi tidak merasakan keberadaan Ayah dan Ibu sama sekali."

Zack menghela nafas gusar. "Pergi temukan Eliano. Temui Ayah satu jam dari sekarang di ruangan Ayah."

Alec mengangguk sekali. Ia melangkah keluar dari kamar Eliana. Namun langkah panjangnya seketika terhenti begitu pintu kamar di belakangnya tertutup. Alec menoleh menatap pintu kamar Eliana heran dan penuh kejanggalan.

Seketika menyadari bahwa tadi, Zack terlalu banyak mengajukan pertanyaan, tidak seperti biasanya.

Ayah ... tidak membaca pikiran?

***

"Ayah sudah mengembalikan ingatannya."

Perkataan Zack membuat Eliano mengernyit. "Semudah itu?"

"Kau ingin yang sulit?"

"Bukan. Maksudku---" Eliano menggantungkan ucapannya. "Aku tak ingin lebih sulit, tapi jika semudah ini, rasanya mustahil."

Zack menghela nafas, lantas bersandar pada kursi tempatnya duduk. "Mengenai kondisi Eliana selama ini," mulainya.

Eliano langsung menegak. "Kenapa dia?"

"Ayah tahu kalian mulai menyadari ini. Kalian mulai mencurigai kondisi adik kalian," tukas Zack.

Alec dan Eliano sama-sama terdiam kaku, saling melirik satu sama lain.

Alec menghela nafas dalam. "Sudah kuduga."

Eliano masih diam. Dahinya berkerut, berusaha menyangkal sesuatu yang tengah ia pikirkan ketika kedua manik birunya menatap Zack tidak percaya. Wajahnya memucat. "Jangan katakan ... selama ini kondisinya memang memburuk."

Zack diam memandang kedua anak lelakinya. Diamnya Raja Penyihir itu membuat Eliano sontak saja tersulut emosi.

"Tidak mungkin!"

the CastleWhere stories live. Discover now