🔹40. Melawan Batas

Comincia dall'inizio
                                    

Anthala mendongak, tatapannya yang sendu tiba-tiba berubah menajam karena ada perempuan yang begitu berani memeluknya. Ia segera mendorongnya, menjauh darinya.

"Kenapa lo ada di sini, Manda?" tanya Anthala dingin.

"Ini rumah sakit punya kakakku wajar aku ke sini." Manda berdecak kesal, Anthala mendorongnya dan itu membuat pinggangnya sakit.

"Pergi," ucap Anthala.

"Sepertinya kamu butuh bantuanku sayan—"

"GUE BILANG PERGI BANGSAT! LO GAK BUDEG KAN?"

"Aku pacar kamu Antha, kenapa kamu membentakku?" Manda tertawa renyah hingga kecantikannya semakin meningkat. Dia belum menyadari jika Anthala kini sedang kondisi tidak baik-baik saja dan bisa jadi dia sebagai pelampiasan kemarahannya.

Anthala tersenyum, bukan senyuman bahagia namun senyuman itu pertanda bahwa Manda dalam bahaya.

"Sekali lagi gue peringatkan lo untuk pergi, atau..."

"Atau apa?" tangtang Manda sambil mengalungkan kedua tangannya di leher Anthala, namun Anthala segera memegang kuat-kuat pergelangan tangannya.

Manda sudah lama tidak melihat Anthala karena beberapa hari ini dia membolos sebab ada urusan keluarga, dan sekarang mereka bertemu. Aih, ia begitu merindukan pacarnya ini.

"Di rumah sakit ini ada taman, kita pergi ke san—"

Plak!

Wajah Manda memiring akibat tamparan kencang dari Anthala.

"Antha kenapa kamu menampa—"

Plak!

"Jangan panggil nama gue sialan!"

"GUE BILANG PERGI SEKARANG SIALAN!"

Manda dengan ketakutan luar biasa dalam hatinya dan seketika dia melarikan diri dengan kedua mata berkaca-kaca.

"Astagfirullah hal'adzim," gumam Anthala beristigfar sambil menatap langit-langit rumah sakit.

Anthala menghela napas dalam-dalam sampai akhirnya menatap pintu yang tak kunjung terbuka.

Entah sudah berapa menit ia menunggu dokter keluar dari ruang IGD, sampai indra pendengarannya mendengar suara langkah kaki di koridor yang sepi ini. Namun dia tidak melihat orang-orang itu karena fokusnya menatap lantai putih dengan tatapan kosong. Dia terus berdoa agar istrinya baik-baik saja di ruang IGD.

"Bos bagaimana keadaan ibu negara?" tanya Marvin, tanpa basa-basi. Terlihat jelas bahwa wajah Marvin yang selalu memasang wajah datar kini begitu khawatir.

"Gue belum tahu karena dokter sedang memeriksa keadaan istri gue," jawabnya masih menatap lantai.

"Sebenarnya apa yang terjadi sih?! Kenapa ibu negara kita bisa muntah darah dan sesak napas? Untung PMR cepat kasih alat pernapasan jika tidak entah apa nasib yang akan terjadi pada ibu negara kita!" seru
Raja untuk pertama kalinya dia emosi seperti ini.

"Jangan menanyakan hal itu, kita fokus dulu pada kondisi ibu negara saat ini," ujar Gama bijak. Dia juga sebenarnya khawatir namun begitu pandai menutupinya.

"Dada Nalan sesak saat di koridor sekolah melihat bundahara muntah darah, hiks!" Nalan menangis sambil mengusap air matanya agar tidak keluar lagi namun, tidak bisa.

ANTHALA || SUDAH TERBIT Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora