NOTE 40: At Last

319 33 27
                                    

Just when I think you're gone
Hear our song on the radio
Just like that, takes me back
To the places we used to go

Our Song – Niall Horan, Anne Marie

[]

Suara denting piano membangunkan Riff pagi itu.

Riff menggerutu sebal sambil melihat ke arah ponselnya. Sekarang jam enam pagi lewat sedikit, dan dia sudah terbiasa bangun agak siang di akhir pekan, terutama setelah dia menjadi buta nada. Dia sudah tidak perlu lagi berlatih pagi-pagi, jadi untuk apa dia bangun pagi, ya kan? Lagipula, siapa sih, yang pagi-pagi memainkan Piano Sonata in B minor karya Liszt? Mengganggu orang tidur saja.

Riff memejamkan matanya kembali. Dia membuka mata beberapa detik kemudian saat dia menyadari sesuatu yang aneh.

Dia sudah bisa mendengar dengan benar? Apa dia sedang bermimpi?

Riff segera keluar dari kamarnya dan berlari ke bawah. Dinginnya lantai yang dia injak seolah mengingatkannya bahwa ini bukan mimpi, tetapi Riff masih tetap tidak percaya hingga dia tiba di bawah. Ayahnya tampak sedang bermain grand piano dengan fokus. Riff berdiri, tangannya memegang railing tangga agar tidak jatuh. Kakinya sama sekali tidak mampu menopang berat badannya.

Dia sudah bisa mendengar dengan benar. Dia tidak sedang bermimpi.

Dia tidak sepenuhnya yakin apa yang membuat kutukannya patah. Apakah karena Althea memaafkannya? Sepertinya tidak, karena kesalahannya pada Althea justru membuatnya harus dihukum lebih lama. Atau karena Gabriel memaafkannya? Bukan, Gabriel tidak bisa melakukan itu. Apakah karena Pak Baskara memaafkannya? Entahlah, mungkin saja.

Yang jelas, Riff ingin menemui siapa pun yang telah memaafkannya hingga membuat kutukannya terangkat dan memeluknya.

"Riff? Kamu ngapain di situ?"

Riff menoleh, melihat Mama keluar dari dapur sambil membawa semangkuk buah. Belum sempat dia merespons, Mama sudah berjalan mendekatinya sambil bertanya kenapa dia menangis. Riff bahkan baru menyadari kalau pipinya basah. Seperti orang linglung, Riff pasrah mengikuti Mama ke ruang tamu; tangan Mama mengelus punggungnya tanpa berhenti.

"Kamu kenapa?" tanya Mama, mengulurkan selembar tisu padanya. "Ada masalah?"

Riff menggeleng. "Kayaknya... kayaknya aku udah bisa denger lagi kayak biasanya."

"Hah? Serius?" Suara Papa terdengar dari tempatnya di depan piano.

"Papa main lagunya Liszt, kan? Piano Sonata in B minor?"

Papa memainkan sesuatu. "Kalau ini?"

"Chopin. Nocturne in E flat major."

"Ini?"

"Selinap, lagu Akung, tapi mainnya pakai kunci F."

Papa terus memainkan beberapa lagu klasik—dan Riff terus menebaknya dengan benar—hingga Mama menyuruhnya berhenti. Riff merasa seperti sedang ujian, yang anehnya dia lalui dengan sempurna meski sudah 7 tahun tidak mendengar semua lagu itu.

Mama memeluknya sambil menangis, sementara Papa memainkan sesuatu entah apa, membuat Riff sendiri bingung dia harus bereaksi seperti apa. Papa dan Mama sudah bereaksi untuknya.

"Jadi, sekarang, kamu bisa konser lagi, dong." Papa berdiri dan berjalan menghampiri mereka sambil membuka ponselnya. "Kayaknya ada konser tengah tahun, mungkin kamu bisa main di situ. Nanti Papa ajarin kamu beberapa lagu yang bisa kamu mainin di sana."

"Oh, aku harus ngomong sama temen-temen band-ku dulu. Sama Al—oh." Riff terdiam saat dia menyadari dia tidak mungkin bisa membagi kebahagiaan ini dengan Althea. "Ah. Temen band-ku aja."

Papa menahannya tepat saat Riff melewatinya. "Temen band apa?"

"Aku gabung ke band sama temen-temenku. Namanya Interlude."

"Keluar. Kamu fokus aja buat balik jadi musisi klasik. Bakat kamu terlalu bagus buat disia-siain di band sekolah yang nggak punya nama."

Riff melepas tangan Papa. "Aku nggak akan balik ke musik klasik kalau aku nggak dibolehin gabung Interlude."

Entah apa yang Papa ucapkan setelahnya, tapi keputusan Riff bulat. Dan jika Papa tidak mau menerima Interlude, lebih baik Riff tidak usah mengikuti keinginannya.

[]

"RIFF IS BACK, Y'ALL!"

Riff segera berpegangan pada keyboard di rumah Jordan saat si tuan rumah tiba-tiba melompat dan merangkulnya agar mereka berdua tidak jatuh. Di hari biasa, dia akan kesal. Tapi, hari ini, dia membiarkan Jordan memeluknya erat seolah-olah Riff baru saja memberikan kabar terbaik di dunia.

Yah, Riff memang baru saja memberikan kabar terbaik di dunia.

"Bentar," Jepri melipat tangannya. "Jadi, lo udah nggak buta nada lagi, dan itu bukan cuma sementara karena kemampuan ajaib Althea? Tapi karena emang lo udah sembuh?"

Riff mengangguk. Dia hampir tidak bisa berbicara karena harus berfokus menghindari Jordan yang tampaknya mulai ingin mencium pipinya. Jordan memang agak berlebihan kadang-kadang.

"WOW! Congrats, bro!"

Jepri ikut-ikut Jordan memeluk Riff. Mereka berdua kemudian melompat-lompat, memaksa Riff untuk ikut melompat mengikuti mereka. Riff melirik ke arah Maia dan Leo untuk meminta bantuan. Maia hanya menggeleng-geleng pusing melihat tingkah dua teman band-nya, sementara Leo membantu dengan menarik keyboard menjauhi mereka.

"Berarti sekarang kita bisa tampil lagi, dong," komentar Maia. "Full formation."

"Iya," jawab Riff, setelah dia akhirnya bisa membebaskan diri dari Jordan dan Jepri. "Bisa banget. Kalian selama ini emang beneran nggak ambil gig apa-apa? Bahkan yang sama Kak Marvin?"

"Kan udah sepakat," balas Leo singkat. "Anyway, selamat, Riff. Good to have you back."

"Good to be back," Riff tersenyum sambil menjabat tangan Leo.

"Selamat," ucap Maia, terdengar hampir tidak tertarik, tapi sepertinya cewek itu cukup bahagia dengan perkembangan terbaru ini. "Sekarang lo nggak perlu manfaatin Althea lagi, deh."

Kalimat Maia membuat raut wajah Riff memburuk. Riff tersenyum pahit. Tangannya gemas sedari tadi; ingin menekan ruang percakapannya dengan Althea, ingin memberitahunya bahwa kutukannya terpatahkan, dan ingin berterima kasih karena sudah memaafkannya meski Althea melakukannya demi dirinya sendiri.

Riff kangen Althea, dan dia tidak bisa menyatakannya.

Tapi, yah, mungkin saja ini untuk yang terbaik. Setidaknya, setelah ini, Riff tidak mungkin menyakitinya lagi.

"Ini harus dirayakan!" seru Jordan setelah dia puas meluapkan kebahagiaannya. "Yuk, Riff, lo mau main lagu apa?"

Jordan menyuruh semua anggota Interlude untuk memegang alat musik masing-masing. Mereka memutuskan untuk memainkan salah satu lagu yang pernah mereka bawakan saat pentas seni. Alunan piano Riff berpadu dengan suara merdu Maia, permainan gitar Jordan yang nyaring, dentuman bass Jepri yang kuat, serta gebukan drum bertenaga dari Leo.

Selagi bermain, Riff memperhatikan jari-jarinya, bergerak lincah di atas tuts keyboard dan mendengar nada-nadanya dengan sempurna. Kemampuan Riff kembali dengan utuh, seolah-olah dia tidak pernah buta nada. Dan hal itu membuatnya kembali ingin menangis.

Dia tidak yakin ke depannya akan jadi seperti apa. Antara sekolah, keinginannya untuk tetap berada di Interlude, dan ambisi Papa untuk mengembalikannya ke dunia musik klasik, Riff tahu, dia akan jadi sangat sibuk.

Tetapi, apa pun yang akan terjadi nantinya, Riff berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan yang dia lakukan sebelumnya. Semoga saja, dia bisa menepati janjinya dengan sebaik-baiknya.

[]

Shan's Note

At last! Udah kelar! Gimana ceritanyaa? Apakah kalian menikmatinya sejauh ini? Semoga kalian menikmatinya sampai selesai~

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now