NOTE 2: Amusia

369 69 105
                                    

I want to know where do we go
When nothing's wrong

All the Kids are Depressed – Jeremy Zucker

[]

Terdengar aneh, bagaimana seorang musical child prodigy bisa berubah 180 derajat menjadi pembenci musik nomor satu di seluruh dunia. Dari seseorang yang jarinya menari di atas tuts dengan lincah, yang punya perfect pitch, jadi seseorang yang kewalahan setiap kali mendengar musik terlalu sering. Sederhananya, Riff dikutuk. Dia sekarang menderita amusia—atau, istilah umumnya, tone deafness.

Riff tidak ingat pernah bertemu penyihir atau sejenisnya—mereka pun tidak nyata. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa dikutuk seperti itu. Tapi, hanya itu yang bisa menjelaskan apa yang terjadi padanya, karena dokter tidak menemukan sesuatu yang salah dengan telinga dan otaknya. Semuanya seharusnya berfungsi dengan benar. Maka dari itu, Riff pastilah dikutuk.

Dia mengerjapkan mata, berusaha mencari tahu di mana dia sekarang berada. Sepertinya, sih, dia ada di UKS. Samar-samar dia ingat sedang upacara dan tiba-tiba mendapati penglihatannya menggelap. Apakah dia betulan pingsan hanya karena mendengarkan musik terlalu banyak? Sial. Wibawanya pasti hancur sekarang.

"Ah, lo sudah bangun?"

Riff menoleh ke arah suara. Seorang cewek berambut sebahu tersenyum sembari berjalan mendekatinya. Cewek itu tampaknya masih seumuran dengan Riff. Kemungkinan besar dia adalah anggota klub palang merah yang ditugaskan memeriksa dan menemani Riff sampai upacara selesai. Bagus. Sekarang dia malah terjebak dengan cewek asing ini.

Tangan cewek itu bergerak untuk menyentuh dahinya, tapi Riff menghindar cepat. "Jangan sentuh-sentuh gue," ujar Riff sedikit kasar.

"Ah, maaf, gue cuma mau ngecek apakah lo demam atau enggak." Cewek itu langsung menarik tangannya dan meringis. "Lo mau makan roti? Atau minum teh?"

"Nggak perlu." Riff bergegas turun dari tempat tidur. "Gue mau balik ke lapangan aja."

Cewek itu mengulurkan tangan untuk menahan Riff, tapi batal. Riff melewatinya dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka, dia mendengar suara nyanyian dari lapangan yang segera menghentikan langkahnya. Dari liriknya, sepertinya para siswa sedang menyanyikan lagu mengheningkan cipta. Riff menutup pintu dan berbalik, mengurungkan niatnya. Lebih baik dia menghabiskan sisa waktu upacara di UKS saja.

Cewek berambut sebahu itu kini menatap Riff bingung. Dia pasti heran kenapa Riff batal balik ke lapangan dan malah kembali duduk di tempat tidur. Untuk sesaat, mereka berdiam canggung.

Riff berdeham. "Gue mau teh, terima kasih."

"Eh?" Cewek itu mengerjapkan mata beberapa kali. "Oh. Oke, sebentar ya."

Sepeninggal cewek itu, Riff berbaring menatap langit-langit. Ini semua pasti gara-gara bunyi piano yang dia dengar tadi pagi. Kalau saja pembantu rumahnya itu tidak menekan tuts piano sembarangan, dia pasti baik-baik saja sekarang. Sial. Riff harus mengarang alasan yang lebih keren untuk menjelaskan kenapa dia bisa pingsan—tidak akan ada yang percaya kalau dia bilang dia pingsan karena mendengarkan lagu kebangsaan.

Pintu UKS terbuka, dan cewek tadi kembali masuk dengan segelas teh hangat. Riff langsung duduk. Dia bisa membaca pin nama yang dipakai cewek itu selagi menerima teh hangat. Namanya Althea E. K.—Riff tidak ingat pernah mendengar nama cewek itu sepanjang dia bersekolah di sini.

"Lo beneran sudah nggak apa-apa, kan?" tanya Althea lagi. "Untuk ukuran orang pingsan, lo lumayan cepet bangun. Gue baru aja ngusir temen-temen lo yang pengin ikutan bolos, dan lo udah sadar."

Imperfect Pitch [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang