NOTE 30: Discordant Love

103 28 35
                                    

I said, young people fall in love
With the wrong people sometimes

Moral of the Story – Ashe

[]

Semuanya, entah bagaimana, jadi lebih jelas. Bahwa semua yang Riff lakukan untuknya—semua perhatian, ucapan, dan bahkan hubungan mereka—diberikan Riff bukan karena dia betulan sayang, tetapi karena dia butuh kemampuan ajaib Althea.

Hari ini adalah hari di mana buktinya paling kuat. Riff tahu Althea sakit, tapi dia tetap membuat Althea datang dan berdiam di sekolah hingga saatnya tampil tiba. Saat kemampuannya hilang setelah lagu pertama, dia tidak mengatakan apa-apa selain memegang tangannya, lalu pergi. Bahkan, baru saja, yang dipegang Riff begitu Althea tiba adalah tangannya. Dan dia berniat melepaskannya setelah lima detik.

"Kamu ngomong apa, sih?" tanya Riff sambil tersenyum. "Kita ngobrol nanti, ya."

Riff menepuk kepala Althea, lalu naik ke atas panggung bersama Leo. Althea hanya memperhatikan selagi Riff meyakinkan semua orang bahwa dia baik-baik saja—dia cuma kelelahan karena ingin menampilkan yang terbaik, dan sekarang dia tidak apa-apa. Riff terlalu jago berbohong. Bagaimana mungkin Althea tidak pernah memikirkan tentang itu sebelumnya?

Riff hanya mengecup tangannya saat mereka bertemu beberapa hari lalu. Riff selalu berbicara tentang dirinya sendiri dan jarang membiarkan Althea bercerita. Riff selalu datang saat dia butuh memegang tangan Althea. Riff marah padanya karena tidak datang ke sekolah sehingga dia tidak bisa mendengar hari itu. Dan, jika dipikirkan, bukankah mereka berpacaran terlalu cepat?

Althea tertawa pahit. Dia sudah dimanfaatkan.

Sebagian dirinya ingin memaki diri sendiri karena terlalu dibutakan oleh rasa kagum dan sukanya. Sebagian lain ingin menepuk dan memeluk dirinya sendiri karena ini semua bukan salahnya dan dia hanyalah korban. Ini semua salah Riff. Althea tidak turut ambil bagian dalam semua ini.

Meski begitu, tanpa bisa dicegah, Althea tetap saja menyalahkan dirinya.

Setelah termenung beberapa saat di sebelah panggung, Althea menyingkir dan berjalan ke area yang lebih sepi. Tangannya bergetar selagi dia mengeluarkan ponselnya, dan butuh beberapa saat baginya untuk menemukan nomor Raphael. Lama sekali rasanya waktu yang diperlukan bagi panggilan itu untuk tersambung. Althea sudah tiga kali mengusap pipinya saat akhirnya dia mendengar suara Raphael menyapanya.

"Jemput gue, dong," ujar Althea. "Di sekolah."

"Lo ngapain di sekolah?" Raphael langsung memarahinya. "Lo kan lagi sakit, harusnya istirahat. Lo sendiri kan yang bilang kalau lo mau di rumah aja hari ini? Ngapain lo—"

"Jemput aja, bisa nggak? Marah-marahnya nanti. Ya?"

Raphael menghela napas. "Oke. Gue berangkat sekarang. Tunggu sepuluh menit, ya."

Althea langsung berjalan meninggalkan lapangan. Kepalanya kembali merasa pusing, dan dia tidak tahu apakah ini karena dia masih sakit atau karena dia berusaha keras menahan air matanya agar tidak jatuh. Tangannya terkepal. Dia seharusnya tidak datang.

Ah, bukan, dia memang lebih baik datang. Jika dia tidak datang, entah sampai kapan dia akan jadi korban Riff. Untung saja dia datang, sehingga dia bisa tahu bagaimana sifat cowok itu yang sesungguhnya.

Ya, lebih baik dia berpikir begitu saja.

Karena, jika dia terus berandai-andai bahwa semua ini tidak terjadi, pertahanannya akan runtuh, dan dia tidak akan bisa berfungsi lagi, entah sampai kapan.

[]

Begitu pertunjukan Interlude berakhir, Riff segera turun, mengabaikan seruan dan pertanyaan dari anggota Interlude lainnya maupun para panitia. Matanya mencari-cari Althea, yang sudah tidak dia temukan di samping panggung. Matanya memindai ke sekitar, tapi yang bisa dia lihat hanyalah kerumunan siswa yang tampak masih bersemangat mengikuti acara akhir tahun.

Sial, cewek itu ke mana?

Riff yakin Althea tidak akan bergabung dengan para penonton karena dia sedang tidak enak badan, jadi dia segera berlarih ke arah gedung sekolah. Dilihatnya Althea berjalan terseok-seok sepanjang lorong sekolah. Sebagian diri Riff merasa bersalah melihat Althea seperti itu, tapi sebagian lainnya tahu bahwa dia butuh Althea di sini malam ini.

Kutukannya yang kembali tanpa bisa ditebak hampir merusak penampilannya. Jika Althea tidak ada, malam ini pasti akan kacau sekali.

"Al, tunggu!"

Riff berhasil mengejar Althea dan menarik tangannya, tapi Althea dengan cepat melepasnya. Althea bahkan tidak mau melihatnya. Riff mencengkeram pergelangan tangan Althea dengan lebih erat dan memaksa pacarnya itu untuk berbalik menghadapnya.

Mata Althea tampak merah dan pipinya basah. Saat Riff mengangkat tangannya yang lain untuk mengusapnya, Althea langsung menoleh ke arah lain.

"Kamu kenapa?" tanya Riff.

"Kamu tahu kenapa," jawab Althea dingin.

Riff menghela napas. "Enggak, aku nggak tahu kenapa. Aku nggak bisa baca pikiranmu."

"Kamu lebih sayang sama kemampuanku."

"Aku nggak pernah—"

"Nggak usah mengelak, oke? Semuanya udah jelas." Althea menyentak tangan Riff yang mencengkeramnya, dan Riff membiarkannya. "Kamu tahu aku masih sakit dan kamu tetep suruh aku dateng. Kamu nggak pernah dengerin aku cerita karena kamu selalu cerita tentang hidupmu sendiri. Kamu egois, dan kamu manfaatin aku buat kepentinganmu sendiri. Kurang jelas apa?"

Riff terdiam, tidak bisa menjelaskan apa-apa. Sebuah suara di kepalanya ingin dia untuk terus berbohong, tapi dia tahu tidak ada gunanya. Bukan karena Althea tidak akan mempercayainya, tapi juga karena dia sendiri tidak bisa terus menutupinya. Tidak saat dia mulai benar-benar memedulikan Althea.

Althea melangkah menjauh. Riff meraihnya dan menariknya ke dalam pelukannya.

"Lepasin aku, Riff. Aku mau pulang."

"Aku anter."

"Nggak perlu. Kamu bisa balik aja sama Interlude."

Riff ingin mengencangkan pelukannya. Dia ingin egois malam ini saja. Dia ingin Althea tetap ada dalam pelukannya, ingin tetap memilikinya di sampingnya, dan ingin tetap menggenggam tangannya erat. Tapi dia tahu, dia sudah terlalu sering egois. Jika dia betul-betul peduli, dia harus melepaskan Althea.

Jadi Riff melepaskannya.

Althea berjalan menjauh begitu tangan Riff tidak lagi melingkar di badannya. Tidak lama kemudian, Riff melihat Althea berbalik dan mendekatinya.

"Sebelum balik, aku cuma mau tahu satu hal," kata Althea, berhenti di saat jarak di antara mereka cukup jauh, sehingga Riff tidak bisa meraihnya. "Yang aku omongin tadi... apa itu semuanya bener? Apa kamu emang beneran nggak sayang sama aku?"

Riff terdiam sejenak, lalu mengangguk. Sudah saatnya Althea tahu. "Awalnya iya. Aku butuh kamu buat bikin aku sembuh lagi. Jadi aku bikin kamu mau bantu aku. Aku nggak suka kamu saat aku nembak kamu, dan juga beberapa bulan setelahnya. Tapi—"

"Terima kasih udah jujur, Riff," Althea mengangguk. "Maaf, tapi aku nggak bisa ngelanjutin ini. Kita putus, ya. Alasannya kamu pasti tau."

"Eh?"

Sebelum Riff sempat mengucapkan apa-apa, Althea sudah berbalik dan pergi. Kaki Riff terpaku walaupun dia ingin berlari mengejar Althea, dan lidahnya kelu meskipun dia ingin memanggil namanya. Seakan-akan tubuhnya paham, kalau sekarang, Riff tidak akan bisa melakukan apa-apa untuk mengubah pikiran Althea.

Jadi dia berbalik, berusaha untuk tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.

[]

Shan's Note:

aku perlu minta maaf dulu wkwk..... apakah kalian menyadarinya? semoga aku cukup menjelaskannya di chapter2 sebelumnya :")

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now