NOTE 22: Stepping Stone

137 33 63
                                    

Denganmu tak ada yang mustahil
Tak ku takut ku kan trus berlari

Tak Ku Takut – The Overtunes

[]

Riff sedang menghabiskan paginya bermain piano sampai puas ketika pesan dari Jordan masuk. Siang ini, Marvin mengajak para anggota Interlude untuk bertemu di kafe miliknya, Koffie. Tidak butuh waktu lama bagi Riff untuk mengenali nama itu.

Sampai sekarang, Riff masih tidak percaya mereka bisa dapat tawaran secepat itu.

Secara objektif, Interlude memang band yang paling menonjol di pensi sekolah kemarin. Iya, secara objektif, karena hanya Interlude yang bisa menarik perhatian Marvin sampai ditawari kesempatan manggung. Meski begitu, Riff tahu, Interlude masih tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan band lain di luar sana. Karenanya, mendapatkan kesempatan untuk tampil di sebuah kafe adalah kesempatan yang tidak dia bayangkan akan mereka terima secepat ini.

Riff mengiyakan ajakan itu dan segera berganti baju. Untung saja Althea menggeser waktu pertemuan mereka jadi malam ini untuk menghabiskan waktu bersama Gabriel, jadi dia luang siang ini. Dia sebenarnya tidak suka membayangkan Althea dan Gabriel berada di satu ruangan yang sama. Cowok itu pasti mengatakan banyak kebohongan supaya Althea menjauhi Riff. Tapi, sebagai pacar yang baik, Riff membiarkannya. Dia percaya Althea, kok. Cewek itu pasti tahu mana yang benar dan mana yang diucapkan karena rasa cemburu saja.

Setelah mengirimkan sebuah foto selfie-nya pada Althea, Riff berangkat. Lokasi Koffie cukup jauh dari rumah Riff—sekitar setengah jam perjalanan menuju bagian kota yang jarang dia lewati. Lingkungan ini tampak lumayan ramai. Begitu juga dengan kafenya, karena banyak sekali mobil dan motor yang terparkir di depannya.

Tidak dapat dipungkiri, Riff merasa berdebar. Dia memang pernah tampil di depan audiens yang lebih besar—entah mencapai berapa ribu—tetapi itu tujuh tahun lalu. Penampilannya di pensi sekolah tidak membuat Riff terlalu berdebar karena dia hanya tampil di depan siswa-siswi sekolahnya. Kali ini sedikit berbeda. Kali ini, jika Riff betulan akan tampil di kafe ini, dia akan didengarkan oleh orang-orang asing.

Riff berusaha menyingkirkan perasaan grogi itu. Dulu dia bisa, masa kali ini tidak?

Begitu Riff masuk, dia langsung bisa menemukan Jordan. Cowok itu melambaikan tangan dengan heboh sehingga tidak sulit bagi Riff untuk melihatnya. Belum ada siapa-siapa selain Jordan dan Marvin. Riff menjabat tangan alumni SMA Buana Karya itu sambil memperkenalkan diri lagi.

"Oh, Riff," Marvin mengangguk. "Lo yang main keyboard, ya? Nice to meet you."

"Nice to meet you too," kata Riff. Dia kemudian berpaling pada Jordan. "Yang lain belum dateng?"

"Leo masih di jalan, sementara Jepri jemput Maia dulu. Kita ngobrol santai dulu aja." Jordan menepuk pundak Riff. "BTW, lo udah tahu belum, kalau Kak Marvin pernah belajar sama Pak Baskara juga?"

Marvin tertawa. "Gue sempet les di Harmoni Nusantara, tapi gue belajarnya gitar. Nggak diajarin Pak Baskara langsung. Makanya gue nggak sadar kalau lo itu salah satu murid kebanggaan beliau, Riff. Gimana kabarnya Pak Bas? Masih galak kayak dulu?"

Mengingat Pak Baskara membuat Riff langsung tidak mood. Kutukan yang diberikan Pak Baskara kembali terngiang di kepalanya. Astaga, betapa Riff ingin menghapus memori—sekaligus kutukan—itu selamanya dari kepalanya. Sejak hari itu, Riff hanya pernah bertemu dengan Pak Baskara sekali saja, saat dia menyatakan kemundurannya dari Harmoni Nusantara. Setelahnya, Riff tidak tahu lagi apa yang dilakukan orang yang pernah jadi idolanya itu.

Imperfect Pitch [COMPLETED]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu