NOTE 3: Out of Tune

331 63 124
                                    

I wish that I'd wake up, be like everyone else
And that would be enough

Rock Bottom – Caro

[]

Begitu upacara berakhir, Riff memperhatikan jadwalnya hari itu. Akan ada pelajaran seni hari ini. Di SMA Buana Karya, pelajaran seni dibagi menjadi tiga: musik, lukis, dan tari. Setiap siswa diperbolehkan memilih kelas apa pun yang mereka inginkan. Jika ternyata kelas itu tidak sesuai, mereka punya satu kesempatan untuk pindah ke kelas seni yang lain.

Saat harus memilih kelas seni dulu, Riff langsung memilih seni lukis. Dia tidak mungkin mengikuti kelas seni musik dan seni tari dengan kondisinya. Kelas seni lukis adalah satu-satunya kelas seni yang tidak melibatkan musik dalam bentuk apa pun. Namun, Riff terpaksa pindah ke kelas seni musik karena dia sama sekali tidak jago melukis dan selalu diomeli oleh guru seni lukisnya yang perfeksionis. Siang ini adalah kelas seni musik pertamanya.

Riff benar-benar tidak menantikan kelas ini. Mengikuti kelas seni musik saat dia menderita amusia adalah sebuah bentuk siksaan—Riff tidak menyangka kalimat ini akan pernah terlintas di kepalanya. Tidak mungkin seorang musical child prodigy benci kelas musik, kan? Ingin rasanya Riff mencari orang yang mengutuknya dan mencekik orang itu hingga dia mencabut kutukannya.

"Hei, gue denger lo pindah ke kelas musik?" Tiba-tiba saja, Jordan merangkul Riff. "Lo pasti kangen sama gue, kan, makanya pindah?"

"Enak aja," Riff melepaskan diri dari rangkulan Jordan dan berjalan ke tempat duduknya. "Gue benci Pak Broto, makanya gue pindah."

"Nggak usah malu-malu, bro. Gue tahu temen deket lo di sekolah sebesar ini cuma gue." Jordan menepuk bahu Riff keras-keras. "Selamat datang di kelas musik! Sebagai gitaris paling hebat di sepanjang sejarah SMA Buana Karya, gue akan bantuin elo belajar musik."

Kadang-kadang Riff bertanya-tanya apakah keputusannya berteman dengan Jordan, seorang musisi amatiran yang tidak tahu apa-apa tentang masa lalunya, adalah keputusan yang tepat. Sejauh yang Jordan tahu, Riff adalah cowok aneh yang mengaku tidak tahu-menahu soal musik dan lagu, tapi selalu mengenakan headset setiap ada kesempatan. Jordan sudah lama ingin "memperkenalkan" Riff pada musik. Dia pasti akan menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya.

"Gue nggak pengin belajar gitar," Riff berusaha menolak dengan sopan.

"Oh, tenang, gue juga bisa main piano, kok. Nggak terlalu jago, sih, tapi lumayan."

Riff belum pernah mendengar Jordan bermain piano—yah, tidak dengan benar—tapi dia bisa memastikan kalau dia lebih jago dari Jordan. Jauh lebih jago, bahkan, walaupun dia belum pernah menyentuh tuts lagi sejak tujuh tahun yang lalu. Tidak mungkin seluruh kemampuannya luntur begitu saja, kan? Walau begitu, Riff diam saja. Selama dia masih punya kutukan sialan ini, Jordan akan selalu lebih baik darinya.

Astaga, kenapa dia sial banget, sih? Ini baru hari pertama masuk sekolah, dan dia sudah harus mendengar suara denting piano, pingsan karena lagu kebangsaan, dan mengikuti pelajaran seni. Sepertinya kesialan semua orang di dunia sedang mengungsi ke hidupnya.

"Gue rasa," kata Jordan sambil mengangkat tangan Riff sembarangan, "lo cocok main piano. Jari lo panjang-panjang soalnya."

"Nggak usah pegang-pegang tangan gue." Riff menarik tangannya. Dia jadi ingat guru lesnya dulu, Pak Baskara, yang juga memujinya karena hal yang sama. Mengingat Pak Baskara membuat kepala Riff berasap. Cepat-cepat dia menyambar botol minum Jordan dan meminum separuh isinya.

Jordan hanya nyengir. "Ntar gue bakal ajarin banyak dasar-dasarnya, kok. Bu Kristi biasanya nggak mau ngajarin dari basic banget lagi cuma buat beberapa anak baru. Lo bisa ikut gue latihan sama anak-anak."

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now