NOTE 39: To Apologize

160 35 28
                                    

Now I know how I let you down
Oh, I finally figured it out
I forgot to love you

7 Minutes – Dean Lewis

[]

Riff sering mematut dirinya di cermin untuk melihat apakah penampilannya sudah sempurna atau belum. Itu hal yang wajar bagi seorang performer. Dia hanya melakukannya sebelum tampil, memang, tapi sekarang dia melakukannya meski tidak ada penampilan apa-apa.

Yah, sesungguhnya ada sesuatu. Ini hari pertama masuk sekolah kembali setelah libur akhir semester.

Lebih dari sekolahnya sendiri, Riff lebih menakutkan hal lain. Sekolah bisa jadi menakutkan untuk sebagian orang, tapi baginya sekolah hanyalah... sekolah. Yang lebih membuat Riff takut, yang membuatnya bolak-balik mengecek apakah penampilannya pagi ini sudah sempurna, adalah Althea. Hari ini, dia ingin meminta maaf kepada Althea.

Riff sudah mencoba-coba sebelumnya. Dia sempat mampir ke rumah Althea. Ibunya bilang Althea sedang pergi ke Singapura—Riff tidak yakin apakah ibu Althea sedang mempermainkannya atau berbohong, tapi wanita itu bukan tipe yang akan melakukan keduanya. Dia bahkan sempat berpikir untuk meminta pertolongan teman-temannya untuk menghubungi Althea. Maia bilang dia pernah mencoba menghubungi Althea, tapi begitu nama Riff disebut, dia langsung lama tidak merespons.

Apakah dia akan dimaafkan atau tidak, dia tidak tahu. Mungkin tidak. Tapi dia harus mencoba dulu.

Riff turun, dan dilihatnya Papa sudah siap di dekat pintu dengan kunci mobil di tangannya. Entah kenapa, sejak Papa tahu dia dikutuk, Papa selalu mencoba untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Salah satu cara Papa adalah mengantarnya ke mana-mana jika dia punya waktu. Riff tidak keberatan, meski dia merasa sedikit aneh dengan kondisi baru ini.

Papa mengantarnya ke sekolah sebelum berangkat kerja ke kantornya sendiri. Riff memperhatikan selagi mobil Papa meninggalkan sekolah, bergabung ke jalanan yang semakin ramai.

"Gue tau lo kaya, tapi liat lo dianter pakai mobil mahal gitu bikin gue shock."

Riff mendengus saat Jordan menghampirinya. "Ini bukan pertama kalinya lo liat gue dianter pakai mobil itu."

"Iyain aja kenapa sih, mumpung kita udah lama nggak ketemu." Jordan merangkul Riff. "Gimana? Lo masih belum sembuh?"

"Belum." Riff menggelengkan kepala. "Lo boleh, kok, kalau mau pecat gue dan cari keyboardist lain. Daripada gue bikin Interlude hiatus kelamaan."

"Gue kira kita segrup udah sepakat buat nungguin lo aja dulu. Santai aja. Lagian belum ada tawaran masuk lagi."

Riff tidak tahu apakah itu betulan atau Jordan hanya berusaha membuatnya merasa baik-baik saja, tapi dia mengangguk. Tidak ada gunanya meragukan Jordan. Walau begitu, Riff merasa bersalah karena membuat band yang baru saja mulai bangkit itu hiatus dengan begitu cepat. Dia harus mencari cara untuk sembuh dengan cepat.

"Anyway, gue—"

Riff tidak tahu apa yang diucapkan Jordan selanjutnya karena dia melihat Althea di kejauhan. Dia ingin mengejar Althea, tapi dia tidak bisa. Tidak siap, mungkin. Dan dia tidak mau membuat hari pertama Althea di semester baru ini rusak karena dirinya.

Yah, dia akan merusaknya nanti, tapi setidaknya tidak pagi ini.

"Lo perlu ngomong sama dia." Kata-kata Jordan tiba-tiba masuk lagi ke dalam telinga Riff.

"Gue tau," Riff mengedikkan bahu. "Nanti siang, pulang sekolah aja."

"Good luck."

Riff membutuhkan semua keberuntungan yang ada di dunia, tapi bahkan, itu pun rasanya tidak akan cukup.

[]

Semesta sepertinya mendukung Riff untuk berbicara pada Althea hari ini. Kelas terakhirnya selesai lebih dulu sebelum kelas lainnya, sehingga dia sempat mampir ke kelas Althea. Satu-satunya yang tidak mendukung Riff untuk berbicara dengan Althea adalah Althea sendiri.

Althea berpura-pura tidak melihat keberadaan Riff di depan kelasnya. Dia tahu, karena tatapan mereka sempat bertemu, tapi Althea memilih untuk mengabaikan Riff. Untungnya cewek itu keluar paling akhir, jadi Riff bisa dengan mudah menyusulnya tanpa menciptakan keributan. Riff menahan lengan Althea.

"Lepasin," ujar Althea dingin.

"Bisa ngobrol sebentar aja, nggak?" tanya Riff, mengabaikan permintaan Althea. "Untuk terakhir kalinya. Habis ini gue nggak akan ganggu lo lagi. Please?"

Althea menghela napas, lalu mengangguk. Dia kemudian berjalan lebih dulu ke sebuah bangku tidak jauh dari kelasnya. Dia duduk di paling ujung, dan demi menghormati kenyamanannya, Riff ikut duduk di ujung. Lucu, rasanya. Dulu mereka pernah sangat dekat. Sekarang mereka seolah punya alergi terhadap yang lain.

"Cepetan, gue mau pulang."

Riff tersenyum tipis mendengar suara Althea. "Gue mau minta maaf."

"Nggak percaya."

"Fair enough." Riff menghela napas. "Gue punya banyak salah sama lo. Gue manfaatin elo, gue minta lo mengorbankan banyak hal buat gue, termasuk kesehatan lo. Itu nggak adil buat lo. Gue bahkan nggak bisa punya perasaan tulus ke elo sampai semuanya udah telat."

Althea tidak membalas, hanya menunduk.

"Gue tahu itu semua nggak adil buat lo. Karena lo tulus ke gue, sementara gue cuma manfaatin ketulusan lo. Itu hal terjahat yang bisa gue lakuin ke elo." Riff menghela napas. "Gue cuma mau minta maaf. Gue nggak akan maksa lo buat maafin gue, karena gue nggak layak buat itu. Lo berhak banget benci sama gue, dan lo berhak buat nggak maafin gue."

"Iya, gue berhak, ya?" Althea mendongak, menghela napasnya. "Gue mau benci lo selamanya. Gue nggak mau maafin lo. Gue pengin lo buta nada selamanya biar lo menderita aja."

Riff tersenyum tipis. "Kalau lo beruntung, ucapan lo bisa jadi kutukan baru buat gue. Siapa tau, kan?"

"Masalahnya, gue nggak bisa."

Riff menoleh. Althea tidak mungkin sebaik itu, kan? Dunia ini tidak layak mendapat orang sebaik Althea. Riff tidak layak menerima pengampunan Althea.

"Gue nggak bisa marah terus sama lo. Gue nggak bisa berharap lo bakal sial selamanya. Karena gue tahu, itu bakal bikin gue nggak tenang." Althea menoleh pada Riff. "Kadang-kadang orang yang menerima maaf itu nggak layak buat dapet pengampunan gue, tapi karena gue butuh merasa tenang, gue memaafkan dia."

Riff memikirkannya.

"Jadi, gue maafin elo, karena gue layak merasa tenang. Tapi, maaf, gue nggak bisa ketemu lo lagi. Gue rasa, di sini kita harus berpisah."

"Terima kasih," Riff tersenyum. "I appreciate your decision."

"Mungkin lo bisa lakuin yang sama. Maafin diri lo sendiri. Mungkin itu yang bisa bikin kutukan lo terpatahkan." Althea berdiri. "Goodbye, Riff."

"Goodbye, Althea."

Riff ditinggalkan sendirian di bangku itu, berusaha mencerna apa yang diucapkan Althea padanya. Pengampunan ada untuk membuat hati orang yang mengampuni tenang, bukan karena orang yang diampuni layak mendapatkannya. Seharusnya itu berlaku untuk dirinya juga. Sepertinya dia harus belajar mengampuni dirinya sendiri.

Pertanyaannya bukanlah apakah dia layak mendapatkannya—Althea sendiri bilang begitu—tetapi apakah dia bisa memaafkan dirinya sendiri, setelah semua yang terjadi? Mampukah dia memaafkan orang yang menyebabkan seluruh kesialan dan kutukan dalam hidupnya, yaitu dirinya sendiri?

[]

Shan's Note:

Minggu depan selesai, nih! Siapa yang udah nggak sabar? :D

Imperfect Pitch [COMPLETED]Место, где живут истории. Откройте их для себя