NOTE 4: Familiar Melody

256 64 120
                                    

You took my broken melody
And now, I hear a symphony

I Hear A Symphony – Cody Fry

[]

Semuanya dimulai di kamarnya, sebulan setelah resital Riff di Royal Albert Hall yang sukses melambungkan namanya. Di pagi hari yang terkutuk itu, Riff terbangun dengan sakit kepala yang luar biasa, sampai rasanya sulit untuk bangun dari tempat tidur. Tapi, dia tidak begitu memedulikannya. Mungkin dia hanya kelelahan.

Sebulan terakhir, Riff disibukkan dengan wawancara di berbagai media nasional. Wajahnya sudah terpampang di televisi beberapa kali dalam seminggu terakhir, dan dua koran besar memasang wajahnya di halaman utama. Selama beberapa minggu, namanya termasuk yang paling sering dicari di internet. Semuanya melelahkan, tapi Riff tidak keberatan. Dia sekarang terkenal. Orang terkenal memang sibuk.

Selain diwawancara, Riff juga sibuk berlatih piano. Pak Baskara tidak memberikan keringanan hanya karena Riff telah mencapai apa yang diimpikan oleh hampir seluruh murid les: tampil di salah satu tempat paling bergengsi di seluruh dunia. Latihan Riff justru ditambah karena dia dipersiapkan untuk penampilan-penampilan lain yang lebih keren. Lagi-lagi, Riff tidak keberatan—malah, dia yang meminta agar latihannya ditambah. Dia ingin jadi lebih keren.

Meski kepalanya masih sakit, Riff turun dari tempat tidur dan mencuci muka. Setiap pagi, dia pasti berlatih selama setengah jam sebelum bersiap-siap berangkat ke sekolah. Riff tidak mau melewatkan jadwal latihannya biarpun dia bahkan tidak bisa berjalan dengan benar. Sakit atau sehat, Riff harus tetap berlatih.

Grand piano hitamnya tampak berkilau terkena cahaya matahari pagi. Riff mengerjap sedikit. Sambil menutupi matanya, dia duduk dan membuka buku latihannya. Pak Baskara memintanya berlatih sebuah lagu baru, dan Riff ingin memainkannya.

Riff sudah memainkan baris pertama lagu ini sebelum dia menyadari ada sesuatu yang salah. Dia sama sekali tidak bisa mendengar apa yang dia mainkan.

Tidak, Riff tidak tuli, karena dia masih bisa mendengar. Dia masih bisa mengenali suara piano yang muncul setiap kali tangannya menekan tuts. Riff hanya tidak bisa memproses nada-nada itu menjadi permainan yang indah dan harmonis.

Sial, apa yang terjadi? Apa ini karena sakit kepalanya?

Riff akhirnya mencari obat dulu. Bi Sari kemudian membawakannya obat dan membuatkan teh hangat agar sakit kepalanya berkurang. Dia berbaring di sofa, memejamkan mata selagi memikirkan apa yang salah dengan dirinya. Rasa-rasanya tidak ada. Dia masih sangat sibuk dengan latihan, bahkan dia sampai di rumah jam setengah sepuluh malam, tapi dia tidak kelelahan.

Setelah sepuluh menit, Riff mulai merasa baik-baik saja. Dengan tidak sabar, dia kembali duduk di depan piano dan memainkan beberapa nada asal. Masih tanpa hasil. Dia masih tidak bisa mendengar permainannya sendiri.

Riff membanting tutup tuts pianonya sambil berteriak frustrasi. Telinganya kenapa, sih?

"Riff, kenapa kamu teriak-teriak gitu?" tanya Mama dari arah tangga. "Jangan banting barang kalau kamu marah, Sayang. Bukan gitu cara melampiaskan kemarahan kamu."

"Aku nggak bisa dengerin permainanku," kata Riff tanpa menoleh dari piano.

"Maksud kamu?"

"Ada yang salah sama telingaku."

Riff meremas telinganya, seolah-olah itu bisa memperbaiki apa pun yang salah. Seakan-akan ada saklar di dalam telinganya yang harus ditekan supaya pendengarannya kembali seperti sediakala, dan meremas telinganya akan membetulkan posisi saklar itu.

Tapi, tidak ada yang berubah. Pendengarannya tetap salah, dan tidak ada yang bisa Riff lakukan untuk menjadikannya benar.

[]

Sambil mengelus punggung bagian bawahnya yang sakit, Riff mencari tahu siapa yang baru saja dia tabrak. Di depannya, seorang cewek tampak berbaring sambil mengerang. Memangnya secepat apa Riff berjalan hingga dia dan cewek yang dia tabrak itu bisa jatuh dengan keras seperti ini?

"Aduh, kepala gue. Kalau jalan lihat-lihat, dong!"

Riff mengenali suara itu. Diperhatikannya cewek itu dengan lebih saksama. Riff akhirnya mengenalinya sebagai Althea, si cewek palang merah yang menemaninya di UKS tadi pagi. Althea masih terbaring di lantai sambil mengelus bagian belakang kepalanya.

"Sorry," kata Riff singkat sambil berdiri. Dia mengulurkan tangannya pada Althea. "Nggak sengaja."

Althea mengerjap menatap Riff. "Oh, hai, elo Riff kan, yang tadi pagi?" tanya Althea selagi menyambut uluran tangan Riff. "Gue Althea."

"Gue nggak ngajak lo kenalan."

Riff menarik tangan Althea, membuat cewek itu sedikit kaget. Untungnya, Althea segera paham kalau Riff berniat membantunya berdiri. Dalam sekejap, mereka berdua sudah sama-sama berdiri. Saat mereka berdekatan seperti ini, Riff baru menyadari kalau Althea cukup mungil—hanya setinggi bahunya saja. Tangan Althea pun terasa lembut dan hangat.

Eh, apa yang baru saja dia pikirkan? Riff cepat-cepat melepas genggaman tangannya dan berjalan mundur sedikit. Althea terlalu sibuk mengelus-elus bagian belakang kepalanya untuk menyadari Riff yang salah tingkah.

"Lo kenapa?" tanya Althea tiba-tiba.

Riff menoleh. "Apa maksud lo?"

"Tadi pagi lo pingsan karena belum sarapan. Sekarang lo kelihatan lagi banyak pikiran sampai nabrak gue. Lo lagi banyak masalah?"

Riff mengerjap, sedikit tidak siap dengan pertanyaan yang diajukan Althea barusan. Sejujurnya masalahnya nggak banyak, kok, cuma satu. Hanya saja, satu masalah itu sanggup mengacaukan masa depan Riff yang seharusnya cemerlang dan membuat hidupnya berantakan.

"Bukan urusan lo," kata Riff kemudian.

Althea memperhatikan Riff sampai cowok itu jadi jengah. Ada sesuatu dalam sorot lembut Althea yang membuat Riff merasa dikasihani. "Oke, gue tahu gue bukan siapa-siapa lo, dan masalah lo memang bukan urusan gue. Tapi, kalau lo butuh temen cerita, lo bisa cerita ke gue, kok. Gue nggak ember."

"Gue nggak butuh lo."

Riff segera meninggalkan Althea sebelum percakapan mereka berubah jadi lebih aneh. Althea benar—dia adalah orang asing, dan masalah Riff bukan urusannya. Buat apa dia menawarkan diri untuk mendengarkan masalah Riff? Cewek itu memang tidak jelas.

Di dalam toilet, Riff memandangi wajahnya yang suram di kaca. Seandainya saja kemampuan bermusiknya tidak rusak, di manakah dia sekarang? Mungkin saja dia sudah membintangi puluhan resital lainnya, bekerja sama dengan komposer-komposer ternama dunia. Atau, dia sudah bergabung dengan tim orkestra terkenal dan kini tinggal di Austria. Dia pasti sudah melanglang buana.

Kutukan sialan!

Seseorang keluar dari salah satu toilet dan menatap Riff bingung. Sial, sepertinya, tanpa benar-benar dia sadari, Riff baru saja meneriakkan kekesalannya. Setengah berlari, Riff keluar dari toilet. Lebih baik dia kembali saja ke kelas sebelum kesialannya bertambah lagi. Dia akan mencoba bertahan sebaik mungkin di kelas musik. Jika dia bisa bertahan di kelas musik sekarang, dia akan bisa bertahan di kelas musik dalam dua tahun ke depan.

Ruang musik begitu kedap suara, hingga tidak ada suara dari dalam yang bisa didengar Riff saat dia tiba. Sambil menggenggam gagang pintu erat, Riff menarik napas panjang, berusaha menikmati saat-saat tenang sebelum memasuki neraka.

Namun, begitu membuka pintu, yang Riff dengar adalah suara piano yang mengalun indah, yang tiap nadanya berpadu dengan begitu harmonis.

Detik itu juga, Riff merasa seperti ingin menangis.

[]

Shan's Note:
Wah, wah, apa yang terjadi? Hihi, pada kaget nggak, Riff sembuh secepat ini? :p

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now