NOTE 6: The Wrong Key

231 54 96
                                    

Yesterday
All my troubles seemed so far away
Now it looks as though they're here to stay

Yesterday – The Beatles

[]

Mama benar. Riff akan menyesal jika mereka betulan menjual piano warisan kakeknya. Sembari duduk di hadapan piano hitam itu, Riff teringat kembali akan Akung—begitu dia memanggil kakeknya—dan permainan pianonya yang luar biasa.

Menurut cerita Mama, Riff pertama kali mendengar permainan Akung saat usianya baru lima hari. Malam sudah larut, dan hampir tidak ada yang bisa menenangkan tangisan Riff malam itu, kecuali permainan piano Akung. Sejak hari itu, Akung dan Papa bergantian memainkan piano untuk Riff setiap hari.

Mengingat Akung membuat Riff sedih. Dia gagal membahagiakan Akung.

Tangan Riff bergerak dan memainkan nada-nada asal yang terdengar sendu. Dia sering memainkan piano dengan asal seperti ini. Meski asal, tidak ada permainannya yang jelek—sayangnya, dia lebih sering melupakannya beberapa jam setelahnya daripada menjadikannya sebuah lagu utuh.

Suara tepuk tangan menggema di ruangan tinggi itu begitu Riff menekan nada terakhirnya. Mama berjalan mendekatinya sambil bertepuk tangan perlahan-lahan, sementara Papa memperhatikannya dari dekat tangga. Riff ikut memperhatikan Papa dengan lekat.

"Papa dan Mama kaget ada yang main piano, ternyata kamu." Mama menepuk puncak kepala Riff. "Pendengaran kamu udah nggak bermasalah?"

Riff mengalihkan pandangannya pada Mama dan tersenyum. "Nggak, sudah berfungsi kayak dulu lagi."

"Sudah capek pura-pura buta nada?" tanya Papa sinis.

Mama mendengus. "Hari masih pagi, Pa. Jangan berantem dulu, bisa?"

Untuk sesaat, Riff dan Papa saling bertatapan, sebelum akhirnya Papa berpaling terlebih dulu. Riff menarik napas panjang, berusaha untuk tidak terbawa emosi pagi-pagi begini. Dia sudah tidak lagi mengenal Papa sekarang—sejak tujuh tahun lalu, Papa berubah, dan jurang mulai terbentuk di antara mereka. Riff membiarkannya. Usahanya membangun jembatan tidak pernah berhasil.

"Biarin aja Papa kamu." Mama mengelus pundak Riff. "Gimana perasaan kamu sekarang?"

"Tanganku masih kaku, tapi aku tetep sehebat dulu." Riff tersenyum tipis. Dia kemudian berdiri, "Aku naik dulu, Ma. Siap-siap sekolah."

Mama menahan pundak Riff lembut, tetapi kuat. "Mainin satu lagu dulu dong, buat Mama. Kamu tahu lagu favorit Mama, kan?"

Riff paling tidak bisa menolak permintaan Mama—biar bagaimanapun, cuma Mama yang tetap memperlakukan Riff seperti biasanya setelah kutukan itu. Dia kembali duduk dan memosisikan jari di atas tuts. Lagu favorit Mama adalah lagu The Beatles yang berjudul Yesterday. Riff sudah lama tidak memainkannya. Apa dia masih ingat?

"Lupa, ya?" Mama tersenyum, lalu mulai bernyanyi lirih. "Yesterday, all my troubles seemed so far away..."

Riff mulai bermain begitu mengingat lagu ini. Sambil memainkan piano dengan lembut, dia melirik ke arah Mama, yang masih bernyanyi pelan. Dia jadi teringat akan masa lalu, sebelum dia dikutuk.

Dulu, mereka bahagia. Mereka berempat—Riff, Papa, Mama, dan Akung—biasa menghabiskan hari Sabtu di ruangan ini, bergantian bermain musik dan bernyanyi. Riff dan Akung tidak jago bernyanyi, tetapi Papa dan Mama memiliki suara paling memukau di seluruh dunia. Suara Papa yang rendah dan berat berpadu indah dengan suara tinggi dan lembut milik Mama.

Hampir setiap Sabtu, ruangan itu menjadi panggung konser mini terindah yang pernah didengar Riff.

Panggung itu terbengkalai sejak Riff tidak lagi bisa mendengar nada-nada indah itu.

Tanpa sadar, lagu yang dimainkan Riff mencapai akhirnya. Ruangan itu berubah sunyi. Samar-samar Riff bisa mendengar Mama menarik napas dengan hidung tersumbat. Tangan Mama yang melingkar di bahunya dan sebuah kecupan panjang yang mendarat di pipinya membuat hidung Riff pun ikut tersumbat. Riff balas memeluk Mama.

"Terima kasih, Riff," bisik Mama sebelum melepas pelukannya. "Sekarang, naik dan siap-siap, lalu turun. Kita sarapan bareng sebelum kamu berangkat sekolah."

Riff masih termenung beberapa saat setelah Mama meninggalkannya. Dia tidak tahu apa yang menyembuhkannya, tetapi, apa pun itu, dia sangat mensyukurinya.

[]

Riff masih saja tidak terbiasa terlepas dari kutukan mengesalkan itu. Tujuh tahun memang bukan waktu yang sebentar untuk hidup tanpa musik, dan mungkin saja Riff memang jadi terbiasa hidup seperti itu. Bel jam istirahat siang yang berbunyi baru saja mengejutkan Riff sekaligus membuatnya ingin melompat.

Sejujurnya, Riff mengira bel sekolah akan terdengar lebih... entahlah, mungkin lebih epik. Dia selalu mendengar bagaimana bel itu terdengar unik dan beda dari bel sekolah lain, jadi dia mengharapkan sesuatu yang spektakuler. Namun, mendengar nada-nada ringan dan jenaka itu saat jam masuk, pergantian jam, serta waktu istirahat sudah membuatnya sangat senang. Riff harus bersusah payah menahan senyumnya yang mengembang lebar setiap kali bel terdengar.

"Riff, lo beneran jago main musik?"

Riff baru saja akan beranjak untuk pergi ke kantin saat Maia, salah satu teman sekelasnya, menghampiri mejanya dan bertanya. Riff memperhatikan cewek itu. Maia adalah salah satu cewek paling populer di SMA Buana Karya karena menjadi penyanyi utama di klub paduan suara. Entah apa yang cewek itu inginkan dengan bertanya seperti itu.

"Betul, Mai!" kata Jordan tiba-tiba. "Gue barusan merekrut Riff jadi keyboardist band gue. Masih inget Interlude, kan? Lo mau gabung, nggak?"

"Gue nggak ngobrol sama lo, Jor. Gue ngomong sama Riff."

Riff cepat-cepat menjawab, "Iya, gue bisa main piano."

"Wah, kok lo baru bilang?" Maia berdiri semakin dekat saja. "Boleh, dong, kalau kapan-kapan gue dengerin permainan lo? Mungkin kita bisa kolaborasi? Lo main piano, gue yang nyanyi. Gimana menurut lo?"

Kerumunan kecil yang terdiri dari sebagian besar teman sekelasnya terbentuk di sekitar Riff. Dia memang suka menjadi pusat perhatian, tetapi kerumunan ini malah terasa mencekik. Maia dan semua orang di sekitarnya menatapnya lekat, menunggu Riff memberikan jawaban yang memuaskan keinginan mereka.

"Pulang sekolah nanti, Riff bakal main piano buat gue dan temen-temen band gue," Jordan menjawab begitu melihat Riff terpaku. "Kalau kalian mau lihat, dateng aja ke ruang musik nanti pulang sekolah."

"Riff?" Maia mengabaikan Jordan.

"Mungkin," jawab Riff cepat. Dia segera berdiri sebelum Maia membalasnya. "Ke kantin yuk, Jor."

Terbebas dari kerumunan itu—dan dari tatapan Maia yang begitu mengintimidasi—membuat Riff lega. Dia berjalan cepat ke kantin. Dia memang merindukan masa di mana semua orang memperhatikannya, tapi tidak dari jarak sedekat itu. Ah, sial, dia memang sudah terlalu lama keluar dari sorotan. Lampu yang mulai menyorotnya justru menyakiti matanya.

"Gue yakin, Maia naksir elo," ujar Jordan sambil berlari kecil menyusul Riff. "Dia, kan, songong abis. Aneh banget lihat dia mau ajakin seseorang kolaborasi duluan."

"Dan lo pengin dia gabung band lo?"

"Soalnya, artis lokal kayak dia bisa bikin Interlude terkenal, bro. Penggemar dia banyak dan loyal, jadi selalu nonton setiap dia tampil. Tapi sekarang kita sudah nggak butuh dia. Ada lo soalnya, hehe." Jordan menepuk bahu Riff. "Lo jadi gabung, kan?"

Riff mengangguk. "Jadi, kok. Tenang aja."

Tapi, ternyata, jalan Riff untuk bergabung ke band Jordan tidak semudah itu. Sekarang, beberapa menit setelah bel pulang berbunyi, Riff justru panik setengah mati di dalam toilet, dengan telinga tersumpal headset yang menyambung ke ponsel, mencoba mendengarkan salah satu rekaman pertunjukannya dulu.

Sialan. Kenapa kutukannya kembali lagi?

[]

Shan's Note:

Batal sembuh, deh :( kasihan banget jadi Riff!

BTW, kalian pernah nggak, mengalami sesuatu kayak Riff? Sudah hampir mendapatkan sesuatu, tapi gagal karena tragedi tak terduga :( coba ceritain di sini, dong!

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now