NOTE 1: No Music Allowed

676 95 131
                                    

I've been having a hard time adjusting
I had the shiniest wheels, now they're rusting

This is Me Trying – Taylor Swift

[]

Suara tepuk tangan itu perlahan-lahan digantikan dengan suara ayam berkokok nyaring. Riff mengumpat mendengarnya. Suara itu, yang omong-omong adalah suara alarmnya, menduduki peringkat nomor dua dalam kategori Suara yang Paling Riff Benci. Dengan mata tetap terpejam, tangan Riff meraba-raba nakas hingga menemukan ponselnya yang bergetar. Ayam berkokok itu sudah di-snooze.

Dia sebenarnya masih malas bangun, tapi lalu dia teringat kalau hari ini hari pertama sekolah setelah libur kenaikan kelas. Sambil berguling di tempat tidur, Riff mengerang. Dia tidak ingin sekolah. Lebih baik dia melanjutkan mimpi indahnya saja, mendengarkan lagi suara yang paling dia sukai di seluruh dunia itu.

Dia bisa mengingat puncak ketenarannya sebagai musical child prodigy di Royal Albert Hall seolah-olah peristiwa itu baru terjadi kemarin. Lampu yang menyorotnya, tepuk tangan yang menggema di seluruh penjuru ruangan, senyum di wajah setiap orang yang berdiri menatapnya—semuanya terekam jelas di otaknya, berputar berulang kali hingga Riff mengingat seluruh detailnya di luar kepala.

Sayangnya, semua itu terjadi dulu. Hari ini, dan juga besok, ketenaran itu tidak akan ada lagi.

Ayam sialan itu berkokok lagi. Riff terpaksa bangun dan mematikan alarm ponselnya. Tapi, sepertinya, Riff memang sedang sial pagi itu, karena setelahnya, dia mendengar bunyi yang menduduki peringkat nomor satu dalam kategori Suara yang Paling Riff Benci: suara denting piano. Suara itu samar, tapi cukup untuk membuat darah Riff mendidih.

Sial, sial, sial.

Riff menyingkap selimutnya dan berjalan setengah berlari ke sumber suara: sebuah grand piano hitam yang sekarang hanya berfungsi sebagai pajangan. Sejak tujuh tahun yang lalu, tidak ada yang boleh bermain piano—atau alat musik lainnya—dan menyetel musik di rumah keluarga Hadinata. Peraturan itu tegas dan tidak dibuat untuk dipatahkan. Orang yang membunyikan piano itu pasti cari mati.

Begitu tiba di bawah, Riff bisa melihat pelayan rumahnya, Bi Sari, berdiri di sebelah piano sambil memegang kemoceng. Tutup tuts grand piano itu terbuka. Dengan mata berkilat, Riff membanting tutupnya, menimbulkan bunyi keras yang menggema di ruangan. Bi Sari terlonjak kaget, kemudian diam sambil berusaha menenangkan tubuhnya yang bergetar.

"Piano ini nggak boleh dibuka, nggak boleh dimainin!" seru Riff kasar. "Bersihin bagian luar aja! Bagian mana dari peraturan itu yang nggak paham?! Minta dipecat, ya?"

"Maafin saya, Den," ujar Bi Sari dengan suara gemetar.

Sebelum Riff sempat mengatakan sesuatu, ibunya sudah datang dari belakangnya, menyuruh Bi Sari untuk segera pergi. Riff masih terus memperhatikan piano hitamnya selagi dia diseret ke ruang tamu. Dulu, dia bisa memainkan berbagai lagu seharian, mulai dari karya musisi klasik hingga lagu-lagu yang sedang populer atau lagu favorit orangtuanya. Sekarang, boro-boro dipakai latihan, melihatnya saja membuat darah Riff mendidih.

"Bi Sari nggak sengaja dan kamu tahu itu," kata Mama dengan suaranya yang tegas. "Pergi ke kamarmu, mandi air dingin, dan siap-siap sekolah."

"Harusnya benda itu dijual aja," ujar Riff geram. Meski begitu, dia sama sekali tidak berani menatap ibunya. Dia tidak akan pernah bisa menatap Mama kalau dia sedang emosional seperti ini. "Mama tahu aku benci lihat benda itu."

"Dan Mama tahu kamu bakal menyesal kalau Mama beneran jual piano warisan kakekmu. Sekarang, Griffin, naik dan mandi. Kamu harus berangkat sekolah."

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now