NOTE 37: Frenemy Once Again

109 30 37
                                    

Looking at the pictures I keep on my shelf
'Cause it's been so long since I've looked like myself

Oh My God – Alec Benjamin

[]

Sebenarnya, sebelum Royal Albert Hall terjadi, Riff lumayan menyukai Gabriel.

Tidak, Riff tidak bisa bilang Gabriel adalah teman dekatnya. Sama sekali bukan. Dia ingat betul kalau pada masa itu dia tidak punya teman, karena dia menganggap semua orang tidak satu level dengannya. Gabriel, bisa dibilang, adalah satu-satunya pengecualian. Hanya Gabriel yang cukup hebat untuk bisa menyandinginya, sampai Riff takut Gabriel akan mengalahkannya dalam audisi Classical Youth.

Iya, Riff sudah cukup dewasa untuk mengakuinya.

Dan Riff tahu, dia juga sudah cukup dewasa untuk meminta maaf pada Gabriel atas kesalahannya dulu, walaupun dia tidak tahu apakah dia akan dimaafkan atau tidak.

Sejak mendapatkan nomor Gabriel dari Jordan kira-kira dua jam lalu, Riff belum menekan tombol panggilan. Dia tidak tahu apa yang membuatnya ragu-ragu. Sungguh ironis; dia siap dan tidak siap di saat bersamaan. Tapi rasanya itu masuk akal. Dia siap untuk mengaku, tapi tidak siap untuk berbicara dengan Gabriel lagi. Dua hal itu bisa terjadi di saat bersamaan.

Ah, daripada galau terus, lebih baik dia menelepon sekarang.

Foto profil Gabriel memenuhi layar Riff saat nada dering mulai tersambung. Sejujurnya, Riff tidak berharap Gabriel akan mengangkatnya. Gabriel, sama seperti Althea, tidak punya alasan untuk berbicara dengannya. Mereka punya hak untuk mengabaikan panggilannya atau memblokir nomornya. Tapi, setelah nada keempat, panggilan itu diangkat juga.

"Halo?" sapa Gabriel.

"Hai," balas Riff, grogi kental dalam suaranya. "Ini gue, Riff."

"Iya, tahu, keliatan dari foto lo."

Riff terdiam. Dia sebenarnya tidak yakin bagaimana dia harus memulai percakapannya dengan Gabriel. Mereka sudah lama tidak berbicara, dan terakhir bertemu pun mereka tidak berbicara dengan baik-baik.

"Kenapa? Kalau cuma mau pamer, gue mau matiin aja."

"Nggak, gue nggak mau pamer. Gue mau minta maaf."

Lama sekali tidak terdengar balasan dari lawan bicaranya. Gabriel pasti terkejut mendengar niatnya meminta maaf. Riff Hadinata yang dikenal Gabriel dan kata maaf tidak mungkin ada di satu kalimat yang sama kecuali kalimat itu berbunyi, "Riff tidak akan pernah meminta maaf."

"Gue... di-prank ya?" tanya Gabriel.

"Enggak."

"Iya nih, prank pasti. Lo bukan Riff, kan? Gue yakin identity theft bisa dihukum penjara di Indonesia."

Riff menghela napas. "Gue nggak nge-prank. Gue serius seratus persen. Gue beneran Riff Hadinata, rival lo di Harmoni Nusantara, yang bikin lo telat audisi buat Classical Youth dan gagal karena panitianya nggak suka harus nungguin lo. Gue mau minta maaf untuk itu."

"Lo kalah taruhan ya?"

"Gab, gue serius."

"Gue cuma masih nggak bisa menerima kalau ini bukan jokes atau prank, sih." Gabriel terdiam sejenak. "Lo kenapa, deh? Kerasukan?"

"Buta nada."

"Gue matiin ya."

"Tanya Jordan, Jepri, atau Leo. Atau lebih baik, tanya Althea. Mereka semua bakal bilang kalau gue nggak lagi bikin jokes atau prank. Gue nggak bisa ngelucu."

Gabriel memikirkannya. "Bener sih. Tapi serius, lo kenapa? Kuping gue geli, tau nggak, dengerin lo ngomong maaf. Gue kira mulut lo alergi sama kata maaf."

"Used to. Orang bisa berubah."

"Not you."

"Why not? Gue sadar kalau gue bukan orang yang baik. Sekarang pun gue masih berengsek. Tapi gue mau pelan-pelan coba perbaiki diri."

"Bentar, gue mau muntah."

Riff memijat keningnya. "Whatever, Gab. Gue tau lo benci sama gue. Mungkin lo bisa sedikit tenang kalau lo tahu gue dikutuk buta nada sama Pak Baskara sejak Royal Albert Hall gara-gara apa yang gue lakuin ke elo."

Gabriel tidak membalas. Dia terus-menerus denial sedari tadi, tidak memercayai apa yang Riff katakan dan lakukan. Yah, ucapannya memang sulit dipercaya. Seluruh hidupnya, sesungguhnya, terdengar seperti akal-akalan seorang pembual—atau pengarang cerita. Entahlah. Betapa indahnya jika hidupnya memang hanya karangan, karena itu artinya dia tidak betulan menderita seperti ini. Sayangnya, semua bualan ini nyata.

"Jujur aja, gue pengin ketawa, atau seenggaknya seneng karena apa yang lo alami," kata Gabriel kemudian. "Tapi sebagai sesama musisi, gue nggak bisa. It must've been hell."

"Worse, tapi mirip lah," Riff tersenyum tipis. "Deserved, I guess."

"Mungkin." Gabriel lagi-lagi bungkam. "Oke, gue bisa maafin lo. Lo udah cukup menderita. Sekarang lo masih buta nada atau gimana?"

"Masih. Minta maaf sama lo mungkin bisa bikin gue sembuh."

"Oh, pantes. Ternyata minta maafnya tetep untuk kepentingan sendiri."

Kalimat itu terdengar seperti hinaan, tapi cara Gabriel mengucapkannya menandakan kalau itu hanya candaan. Riff tertawa. "Gue kan, emang masih berengsek. I've warned you."

"Yah, asal lo nggak berengsek sama Althea aja sih."

Kata-kata apa pun yang sudah akan diucapkan Riff untuk membalas Gabriel, tersangkut di tenggorokannya. Meminta maaf soal Royal Albert Hall terbukti mudah, tapi untuk yang satu ini, Riff yakin dia tidak akan pernah dimaafkan. Apa yang dia lakukan pada Althea jauh lebih terkutuk dari apa yang dia lakukan pada Gabriel.

"Soal itu...," Riff ragu-ragu sesaat. "Lo udah ngobrol sama Althea?"

"Belum. Kalau liburan dia emang susah dihubungin, lebih suka tiduran di kamar sambil baca buku. Kenapa, emang?"

"Gue sama dia udah putus."

"Hah?" Gabriel berseru keras sekali, sampai telinga Riff terasa sakit. "Kenapa lo mutusin dia? Gue yakin bukan dia yang mutusin elo, kan? Lo, kan, idola dia."

"Dia yang mutusin gue, kok. Karena...." Riff menarik napas panjang. "Karena gue berengsek. Gue manfaatin kemampuan dia buat keperluan egois gue dan nggak peduli sama dia."

Bahkan sebelum kalimat Riff selesai, Gabriel sudah mengumpat. Berkali-kali, setiap pengulangannya lebih penuh emosi daripada sebelumnya.

"I will never forgive you for that," ucap Gabriel geram.

"Gue tahu. Gue juga nggak bisa."

"Bangsat, lo. Althea gampang sakit kalau dia kebanyakan pake kemampuan dia, tahu? Karena dia pakai kesehatannya sendiri buat nyembuhin orang. Jadi, dia sekarang sering sakit gara-gara lo? Kampret."

Riff baru tahu itu, tapi ucapan Gabriel masuk akal. Dan itu membuat rasa bersalahnya meningkat berkali-kali lipat.

"Jauhin Althea," kata Gabriel. "Jangan pernah muncul di hidup dia lagi, oke?"

"Habis gue minta maaf, ya? Gue belum bisa minta maaf. Masih di-block."

"As she should. Lo nggak pantes dapetin perhatian Althea."

Gabriel sudah mematikan panggilan sebelum Riff sempat membalas.

Riff menghela napas. UcapanGabriel 100% benar. Mengingat semua hal yang dia lakukan sejauh ini, dia samasekali tidak layak menerima perhatian dan kebaikan Althea.

[]

Shan's Note

Maaf telat upload :( hampir nggak mau upload tapi nanti makin lama dong kelarnya wkwk :(

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now