NOTE 8: The Right Answer

202 50 103
                                    

I'm trying to realize
it's alright to not be fine
on your own

Comethru – Jeremy Zucker

[]

Banyak orang melakukan ritual tertentu atau mengucapkan kalimat khusus untuk mengatasi demam panggung. Mereka mungkin akan berdoa, atau mengucapkan kata-kata penyemangat untuk diri sendiri, atau, entahlah, berpura-pura para penonton sebenarnya adalah jagung, mungkin. Riff tidak tahu tips mengatasi demam panggung karena dia tidak pernah mengalaminya sebelumnya.

Tapi sekarang, sepertinya dia benar-benar harus menganggap semua orang yang berkerumun di luar ruang musik adalah jagung.

Semua orang—yang jumlahnya mungkin ada 30 lebih—menatapnya selagi dia berjalan menghampiri Jordan. Riff pernah tampil di banyak tempat keren dengan jumlah hadirin seratus kali lipat, tapi dia tidak pernah merasa lebih gugup dari hari ini. Rasa-rasanya dia akan dipermalukan seumur hidupnya jika dia gagal memuaskan semua orang yang hadir di sini.

Riff menoleh ke belakang. Dilihatnya Althea, sedang tersenyum sambil mengepalkan tangan, menyemangatinya. Lo akan baik-baik saja. Riff seolah bisa mendengar Althea mengatakannya.

"Hei, lo ke mana aja?" tanya Jordan. "Kita sampai hampir diusir satpam."

"Lagian, ngapain juga kita bikin konser dadakan, sih?" gerutu seorang cowok yang memegang bass. "Perasaan kita cuma mau main santai aja siang ini."

Mengabaikan gerutuan itu, Jordan berkata, "Kenalin, dia Jepri, bassist Interlude. Jep, ini Riff. Gue yakin lo udah kenal Leo, drummer kita. Dia cuma bakal main cajon aja hari ini karena kita nggak mungkin ngeluarin satu set drum dari dalem. Berat."

Riff mengangguk. Meski belum mengenal mereka, dia sudah pernah mendengar Jordan membicarakan tentang band ini. Sebenarnya Interlude beranggotakan empat orang, tapi keyboardist dan vokalis Interlude yang bernama Gabriel pindah ke sekolah lain. Riff belum pernah mendengar permainan Gabriel, tapi bisa dipastikan dia lebih hebat.

"Jeffrey, tapi Jepri juga oke lah," kata Jepri sambil menjabat tangan Riff. "Oh iya, katanya lo musisi klasik? Lo bisa main lagu genre lain, nggak?"

Tanpa banyak bicara, Riff segera memosisikan diri di belakang keyboard yang sudah dinyalakan. Dia memutar otak, mencoba mengingat-ingat lagu apa yang pernah dia mainkan untuk orangtuanya dulu yang masih bisa dia mainkan dengan lancar. Satu-satunya yang terpikir olehnya adalah lagu dari Coldplay, salah satu band favorit Mama dulu. Kalau tidak salah, lagu yang dia ingat intro-nya berjudul Clocks.

Bisikan-bisikan dari semua orang di sekitar Riff terbungkam begitu mendengar Riff bermain piano. Riff tersenyum. Sudah lama dia tidak menghipnotis orang-orang dengan permainan pianonya.

"Anjir, ini mah harusnya pakai alat yang lengkap," kata Leo. Tapi tak urung dia ikut melengkapi lagu itu dengan cajon.

Jordan dan Jepri sepertinya tidak tahu lagu itu, jadi mereka tidak ikutan bermain. Maklum saja, ini lagu lama. Sudah tujuh tahun Riff tidak mendengarkan lagu apa pun, jadi dia sama sekali tidak tahu lagu terbaru yang bagus dimainkan dengan piano.

Begitu Riff menyelesaikan lagu itu—tidak sampai akhir, karena dia tidak sepenuhnya ingat lagunya—tidak ada yang berbicara untuk sementara. Riff tidak tahu kenapa setiap kali dia selesai bermain, semua orang yang mendengarnya jadi lupa berbicara, tapi dia tidak protes. Dia justru bangga.

Seseorang bertepuk tangan. Riff mendongak, melihat Althea bertepuk tangan dengan senyum yang begitu lebar.

Untuk sesaat, Riff terlalu fokus memperhatikan senyum itu hingga tidak memperhatikan kalau semua orang juga mulai menepuk tangan mereka.

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now