NOTE 33: Illicit Sound

115 26 38
                                    

Requiem: Dies Irae – Mozart

[]

Badan Riff gemetar saat melangkah memasuki gedung Harmoni Nusantara. Kenapa, saat dia memasuki gedung ini untuk kali pertama setelah sekian tahun lamanya, lagu yang dimainkan oleh Pak Baskara adalah lagu kematian?

Riff tidak perlu mendengar dengan benar untuk tahu bahwa lagu yang dimainkan Pak Baskara bukanlah lagu yang menyenangkan. Terutama karena bulu kuduknya berdiri dan hawa Harmoni Nusantara tiba-tiba menjadi lebih menyeramkan. Kepalanya mulai berdenyut, tapi dia memaksakan diri menahannya.

Sebenarnya, jika bukan karena fakta bahwa dia disambut dengan lagu klasik yang menyeramkan dan kenyataan bahwa pendengarannya sudah tidak bekerja dengan benar lagi, Riff lumayan bersemangat untuk datang hari ini. Dia kangen Harmoni Nusantara. Dulu, dia bisa menghabiskan 4-5 jam sehari hanya untuk berlatih di sini. Tempat ini sudah seperti rumah keduanya.

Gedung Harmoni Nusantara tidak banyak berubah, hanya terlihat lebih modern saja. Piala-piala yang dipajang di sejumlah lemari kaca sepanjang lorong tetaplah banyak, dan berbagai foto penampilan tiap murid terpajang hampir di seluruh dinding. Foto terbesar di antara semuanya adalah fotonya, bermain di Royal Albert Hall 7 tahun lalu.

Riff hampir tertawa melihat foto itu. Bahkan setelah mengutuknya, prestasinya tetaplah jadi kebanggaan utama Pak Baskara.

Jika dipikirkan, memang prestasi Riff belum bisa disaingi dengan prestasi murid lainnya. Menjadi ahli di saat usianya belum sepuluh tahun saja belum tentu bisa. Apalagi tampil di panggung dunia di usia semuda itu. Tentu saja dia jadi kebanggaan terbesar Pak Baskara dengan prestasi segemilang itu.

Riff kembali pada dunia nyata saat mereka melangkah memasuki ruangan tempat Pak Baskara memainkan musik yang membuat bulu kuduk berdiri itu.

"Dies Irae, really?" Papa tertawa pelan saat memasuki ruang latihan. "Sedikit terlalu gloomy untuk dimainkan di awal tahun, bukan begitu?"

Ah, jadi lagu yang dimainkan Pak Baskara adalah Requiem: Dies Irae karya Mozart. Entah kenapa pria itu memainkan lagu itu di awal tahun. Banyak lagu Mozart lainnya yang lebih menyenangkan untuk didengar.

Pak Baskara menoleh saat mendengar suara Papa. Dia langsung menghentikan permainannya. "Hai, Alle. Long time no see."

Riff membiarkan Papa dan Pak Baskara saling menyapa. Dia juga tidak ingin cepat-cepat harus bermain piano.

Astaga, dia masih tidak habis pikir kenapa dia mau-mau saja diajak Papa ke Harmoni Nusantara di saat telinganya sudah tidak bisa mendengar dengan baik selama dua mingguan. Di satu sisi, pilihannya untuk datang ke sini akan sangat merugikannya. Jika dia harus bermain musik—yang pastilah wajib dia lakukan—dia akan segera pingsan. Di sisi lain... yah, dia tidak tahu kenapa mempermalukan Papa terdengar seperti sesuatu yang menyenangkan. Dia sendiri pasti dipermalukan.

"Lama nggak ketemu juga, Riff."

Riff menoleh saat Pak Baskara menyapanya. Ekspresi Pak Baskara tidak dapat dibaca, tapi yang jelas, bukan rasa senang yang dia tunjukkan. Riff tidak tahu kenapa Pak Baskara tidak menyukainya, tetapi dia juga tidak menyukai guru lesnya itu, jadi tidak masalah. Mereka saling membenci. Mungkin pilihan terbaik bagi mereka adalah untuk tidak bertemu lagi untuk selamanya.

"Selamat siang, Pak," sapa Riff dengan senyum selagi menjabat tangan Pak Baskara.

"Jadi, kamu mau bergabung lagi? Sepertinya kamu nggak butuh-butuh amat les di sini."

Riff tertawa sopan. "Masih butuh kok, Pak. Tujuh tahun lebih nggak main musik bikin kemampuan saya karatan, jadi harus dilatih lagi."

"Ah, gitu ya?" Pak Baskara tertawa. "Oke, kalau gitu coba tunjukin dulu permainanmu. Saya mau dengar seberapa karatan kamu."

Riff mengangguk. Dalam hatinya, dia tahu, dia sudah gila. Tidak ada orang waras yang akan dengan sengaja menceburkan diri ke dalam masalah sepertinya. Sepertinya otaknya sudah semakin rusak sejak pendengarannya tidak bekerja dengan benar.

Jantungnya semakin berdebar saat dia mendekati piano. Sebenernya, gue ngapain, sih?

Meski Riff tahu hal itu tidak akan terjadi, dia tetap saja mengharapkan keajaiban. Bisakah kemampuannya secara ajaib kembali?

Jawabannya, tidak. Dan dunia Riff menggelap setelah beberapa nada dia mainkan.

[]

"Sepertinya sih, kepalanya nggak kenapa-kenapa walaupun kebentur agak keras. Sebenernya dia kenapa?"

"Nggak tau juga. Perasaan biasanya juga baik-baik aja kalau habis main piano."

Riff akhirnya membuka matanya. Kepalanya masih sedikit pusing karena terbentur lantai dengan keras, tapi dia sudah baik-baik saja. Dia langsung melihat Pak Baskara yang sedang memeriksanya. Papa berdiri agak jauh, hanya memperhatikan dengan tangan terlipat di depan dada. Ekspresi kedua pria itu—yang seakan khawatir sama sekali—membuatnya jengkel.

"Kamu kenapa?" tanya Papa akhirnya, setelah Riff duduk. "Kamu baik-baik aja di rumah, kenapa tiba-tiba pingsan gitu? Kalau emang sakit, bilang. Jangan bikin malu di depan orang."

Riff tidak langsung menjawab. Dia mengambil air mineral dalam gelas yang ada di meja dan meminumnya. Ucapan Papa semakin membuatnya panas, dan dia tidak ingin kehilangan ketenangannya dalam membalas atau menanggapi ucapan mereka setelahnya.

"Nggak kenapa-kenapa," balas Riff. "Cuma nggak bisa denger aja."

"Nggak usah pakai bilang kamu buta nada atau apalah itu lagi. Kutukan itu nggak ada." Papa mendengus. "Sudah jelas-jelas kamu bisa main piano waktu reuni keluarga."

"Waktu itu lagi baik-baik aja. Sekarang enggak."

"Sebentar." Pak Baskara mengernyitkan kening. "Kutukan apa yang kalian bicarakan? Riff, kamu buta nada?"

Apakah selama ini Pak Baskara memang tidak tahu, atau dia pura-pura tidak tahu saja, Riff tidak yakin. Yang dia yakini adalah, pertanyaan itu membuat Riff kesal setengah mati. Pak Baskara yang menyebabkan semua ini, dan dia tidak tahu?

"Iya, saya buta nada," sahut Riff. "Gara-gara Bapak kutuk. Bapak nggak inget?"

"Griffin!" seru Papa.

"Royal Albert Hall, tujuh tahun lalu, setelah pertunjukan selesai. Bapak yang mengutuk saya. Bapak bilang kalau saya nggak seharusnya punya kemampuan ini."

Ekspresi wajah Pak Baskara berubah, seperti menyadari sesuatu. Ah, untung pria itu masih ingat. Riff akan benar-benar menghancurkan semua piano yang ada di gedung ini jika Pak Baskara tidak ingat satu hal pun dari malam itu. Dia memperhatikan Pak Baskara, menunggunya mengatakan sesuatu.

"Oh, itu." Pak Baskara akhirnya bersuara. "Jadi, gara-gara itu, kamu terkutuk?"

"Nggak usah diladenin, Bas," kata Papa. "Ini anak udah gila kayaknya. Dia—"

"Kamu pantas menerimanya."

Riff sudah akan membalas, begitu juga Papa sudah siap melanjutkan ucapannya entah apa, tetapi keduanya terdiam mendengar kalimat Pak Baskara. Riff pikir, dia sudah baik-baik saja saat menghadapi Pak Baskara, dan sudah melupakan apa yang pria itu perbuat. Tetapi, ucapan Pak Baskara menorehkan sebuah luka yang baru di hatinya.

"Saya rasa nggak ada yang pantas dikutuk sekejam ini," balas Riff, menahan diri untuk tidak berteriak marah.

"Kamu berlaku curang dan nggak adil. Saya nggak suka orang seperti itu." Pak Baskara mengedikkan bahu. "Jika memang kamu masih terkutuk, sepertinya kamu masih harus belajar untuk menurunkan egomu."

"Seseorang harus menjelaskan apa yang terjadi." Papa mendekat dengan ekspresi bingung. "Sebenernya ada apa?"

"Tanya aja sama Pak Baskara."

Riff beranjak dan meninggalkan ruangan. Dia tidak bisa lagi ada di satu ruangan yang sama dengan Pak Baskara.

[]

Shan's Note:

Halo! Maaf kemarin Minggu nggak update karena ada tes hari Senin-nya :" anyway, sebentar lagi kenalan sama masalahnya Riff yang sebenarnya nih~

Imperfect Pitch [COMPLETED]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum