NOTE 31: Silent Tears

111 28 40
                                    

The way you felt in my arms
Our chemistry was sacred

But you left me in the dark
And my heart completely vacant

The Way You Felt – Alec Benjamin

[]

"Lo tuh, harusnya tidur. Bukannya jajan makanan kekinian."

Althea memperhatikan menu dengan fokus penuh, mengabaikan apa yang baru saja diucapkan Raphael. Dia tahu ucapan kakaknya itu benar, bahwa dia seharusnya istirahat. Tapi, bagi Althea, ada dua hal yang bisa membuatnya senang lagi: tidur seharian—atau sampai Bunda menyuruhnya bangun—dan makan. Dan dia tidak ingin langsung tidur. Jadi yang bisa dia lakukan adalah membeli makanan.

"Laper," balas Althea singkat. Dia mendongak dan menyebutkan pesanannya, "Hot dog kentang yang ada mozzarella-nya sama tteokbokki, masing-masing satu, ya."

"Yang hot dog dua," kata Raphael, kemudian bergerak mendekat sambil mengeluarkan dompet.

Althea menyingkir sedikit. Ya, sebaiknya dia makan saja.

Dia sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika dia memilih untuk tidur. Dia akan menangis, entah sampai air matanya habis, otaknya lelah, atau keduanya sekaligus. Jika dia tidur setelah menangis begitu, matanya pasti akan bengkak besoknya dan sakit kepalanya pasti tidak sembuh-sembuh. Mengisi perut malam-malam begini terdengar seperti pilihan yang lebih bagus.

Setelah pesanan mereka jadi, Althea masih tidak mau pulang, jadi Raphael terpaksa membelokkan motornya ke sebuah taman tidak jauh dari tempat mereka berada. Menjelang akhir tahun begini, taman terlihat ramai-ramainya. Untungnya mereka menemukan sebuah bangku yang kosong.

"Lo kalau emang pengin kencan, sama pacar lo aja," Raphael menggerutu sambil membuka botol air mineral dan menyerahkannya pada Althea. "Punya pacar tuh dimanfaatin."

Althea menerimanya. "Ha. Itu lucu. Tapi nggak bisa."

"Gue nggak ngelucu. Dan kenapa nggak bisa? Karena pacar lo lagi konser?"

"Itu lucu, karena gue dimanfaatin sama pacar gue. Mantan, tepatnya. Barusan gue putusin."

Althea bisa merasakan emosi Raphael yang menggelegak. Kadang, dia ingin sekali saja bisa meminjam amarah Raphael, agar dia juga bisa memarahi orang-orang yang membuatnya kesal. Pasti rasanya menyenangkan. Setidaknya, emosinya tidak perlu dipendam. Sedikit kemarahan itu baik, kan?

Althea tenggelam dalam pemikirannya hingga nyaris tidak menyadari kalau Raphael sudah melepaskan sarung tangan hitam yang dia pakai. Dia cepat-cepat menarik jaket yang dipakai Raphael. Dia tahu apa yang akan terjadi jika dia membiarkan Raphael pergi begitu saja. Kakaknya itu harus dicegah sebelum dia melakukan hal paling berbahaya di dunia ini: menyentuh orang lain dengan tangannya.

"Gue masih pengin pulang bareng lo dengan selamat," kata Althea.

"Cowok kayak gitu harus dikasih pelajaran," balas Raphael. Suaranya terdengar lebih dingin dari angin malam yang Althea rasakan sore ini. "Dia masih ada di sekolah lo kan harusnya?"

"Nggak. Jangan malem ini lah, seenggaknya. Lagian juga besok dia pasti udah sial. Buang-buang energi lo aja."

Althea berusaha memasang wajah memohonnya yang paling baik. Sepertinya berhasil. Raphael mengumpat, tapi dia kembali duduk di samping Althea. Untuk sesaat, mereka hanya diam saja. Althea menghabiskan separuh hot dog kentangnya, sementara Raphael memasang kembali sarung tangannya.

Imperfect Pitch [COMPLETED]Where stories live. Discover now