31. Letter

3.3K 143 4
                                    


Selesai dengan urusan di kamar mandi, Jack segera menuju ke walk-in closet yang terdapat di kamarnya. Mencari kemeja yang akan ia gunakan untuk ke kantor. Hari ini dirinya dikejar oleh waktu. Kesibukan kali ini adalah pertemuan dan pertemuan bisnis yang membosankan. Namun Jack tetap harus hadir demi memuaskan klien dan koleganya bukan?.

Jack menatap pantulan dirinya melalui kaca yang ada disana. Entah apa yang terjadi, namun di pagi hari ini ia terbangun dengan sangat semangat dan bahagia yang sulit untuk dijelaskan.

Setelah rapih memakai kemeja, dasi serta jas, Jack langsung menghampiri Edelina yang masih membaca buku pagi harinya. Ia mencium kening gadis itu dengan lembut. Ia mengusap kepala gadisnya seraya di bagian pipi.

"Tumben sekali kau bersiap sepagi ini" Ujar Edelina.

Jack hanya tersenyum tepat di depan wajah gadis itu. "Ada banyak pertemuan yang harus aku jalani. Kau tau, kemarin yang lalu-lalu adalah hari yang kacau. Aku bahkan tidak sempat memikirkan pekerjaan" Ucap Jack.

Edelina mengangguk dan tersenyum. "It really was. But i'm glad you work things out"

"Yep. Dan omong-omong, aku harus segera ke kantor. Marco sudah menjemputku"

Mata Edelina melebar sambil mengangguk. "Baiklah, hati-hati"

Jack sekali lagi mengecup dahi gadis itu. "Bye. I love you"

Wangi kayu oak dan betapa jantannya bau pria itu. Kini sudah terhembus hilang dari penciuman Edelina. Gadis itu menghela napasnya pasrah, ia menutup buku dan meletakkannya di atas nakas sebelah ranjang.

Jack berjalan keluar tanpa mendengar respon dari Edelina sekalipun. Di balik pintu sambil menuruni tangga, pria itu menghela napasnya pasrah. Ini semakin membutuhkan waktu. Jack selalu mengingatkan dirinya untuk mengambil langkah yang pelan, agar Edelina juga merasa nyaman dengan kehadiran dirinya.

Namun pertama-tama, ia juga mulai harus rutin menjalani perawatan psikologisnya. Semua ini adalah rencana dia untuk sembuh, dan Marco juga menyarankn sekaligus mendukung dirinya.

"Kau lama" Ucap Marco yang sedang bersidekap dada di bumper mobil Bmw kesayangannya.

"Sekarang masih jam 7 pagi for fuck's sake" Kesal Jack.

Marco menggedikkan bahunya. "Whatever"

Jack mendengus kesal sambil masuk ke dalam kursi penumpang. Memiliki sahabat sebagai asisten terkadang adalah salah satu penyeselan terbesar. Tapi persetan.

"So.... How's your things?" Marco bertanya sambil menyalakan mesin mobilnya.

"Kupikir perlahan kami mulai membiasakan diri... I don't know"

Marco menoleh sekejap ke arah pria itu. "Kau ragu?"

"Entahlah"

Marco menghela napasnya. "Hanya dirimu sendirilah yang mampu mengatasi apa yang sedang kau rasakan pada dirimu. Jika kau membutuhkan pendengar yang baik, aku bisa kapan saja"

"Sure buddy" Jack menoleh ke arah sahabatnya yang tengah menyetir. Ia tersenyum.

"Bagaimana keadaan istrimu?" Tanya Jack.

Marco terkekeh. "Baik untuk dirinya sendiri"

Kedua pria itu tertawa di dalam mobil, seolah mereka sudah saling paham apa yang dirasakan satu sama lain.

"Aku tidak membayangkan bagaimana jika itu Edelina" Ucap Marco.

Entah kenapa Jack spontan menatap tajam Marco. "Dan jangan kau bayangkan brengsek"

"Wow. Wow. Wow. Easy bro" Marco dengan santau mengangkat kedua tangannya.

Jack mendengus jengah. "Fokuslah pada setirmu"

JACK'SWhere stories live. Discover now