31. Secuil kebahagiaan

18 11 6
                                    

Happy reading, Prendsil.

===

"Lo di sini, Farhan?"

Setelah lama Farhan mencoba untuk tidak terlihat oleh gadis itu, akhirnya Lita mengetahui keberadaannya.

"Eh, Tante." Baru menyadari keberadaan Rini sehingga Lita baru menyapanya. Dulu, Lita pernah bertemu dengan Rini sewaktu ia mengantar Farhan les.

"Kamu siapa, ya?" balas Rini.

Senyum Lita yang tadinya mengembangkan kini mendadak pudar. "Sakit banget, ya, kita kenal sama orang tapi nggak di kenalin balik. Parahnya sama orang yang penting lagi."

Lita hanya membatin, ya, hanya membatin. Mana berani dia berkata seperti itu secara langsung. Ia hanya menjawab, "Saya Lita, Tante. Teman lesnya Farhan dulu. Wajar sih, Tante nggak kenal saya. Actually, saya juga nggak kenal sama Tante,  cuman sekedar tahu aja." Di akhir bicaranya yang panjang itu, ia tersenyum.

"Katanya, kalau mau pendekatan sama anaknya mending deketin dulu sama anaknya." Lita membatin kesenangan. Entah hal apa yang membuatnya tidak menyerah untuk mendapatkan perhatian Farhan.

"Farhan mau daftar di sini?" Lita kembali melayangkan pertanyaan kepada Rini, ia tahu jika bertanya kepada Farhan jawaban yang didapat pasti berupa ketusan.

Rini mengangguk sebagai jawaban. Hati Lita berbunga mendapatkan jawaban yang sesuai harapan. Awalnya ia hanya menerka ternyata menjadi sebuah hal nyata.

"Barengan dong kita, Farhan. Gue udah lama les di sini dan ya, not bad."

Ekspresi Farhan saat ini tak dapat di tebak. Ia masih terdiam. Rini pun menyenggol lengan Farah. "Di ajak ngomong itu nyahut, Farhan."

"Iya," jawab Farhan sedikit kesal karena teguran mamahnya.

"Kita duluan, ya," pamit Rini kepada Lita.

Keberadaan mereka yang mulai menjauh, namun tak mampu merenggut senyum yang sedari tadi tercetak di wajahnya.

"Nggak tahu kenapa, meski lo udah nolak gue, tapi entah kenapa masih seseneng ini bakal dekat sama lo," gumam Lita.  Setelahnya ia beranjak dari tempat lalu pulang. Ia baru saja selesai les pada malam itu.

===

Berhari-hari telah berlalu, kini Faraz dan ibunya—Esti mengunjungi rumah yang dulu kebakaran tetapi sekarang sedang di renovasi. Benar-benar memulai dari awal. Sebenarnya, Esti sudah pernah beberapa kali melihat perkembangan rumahnya, Faraz lah yang baru ke sini setelah kejadian itu.


Farhan memarkirkan motornya. Usai turun dari motor, mereka berdua langsung masuk dan menemui tukang yang merenovasi rumahnya. Sekedar bertanya tentang perkembangan dan kira-kira apa saja kekurangannya.

Daripada mengikuti ibunya yang sedang sibuk merembug dengan tukang, Faraz memilih berkeliling rumahnya.

Pandangan Faraz menyapu seluruh rumahnya yang sedang di bangun. Sudut yang sudah tak berbentuk dan berbeda dari sebelumnya mampu mengingatkan Faraz pada sebuah kenangan yang pernah tercipta di tempat ini.

Ketika terlalu sibuk memandangi rumahnya, Esti tiba dan mampu mengalihkan perhatian Faraz.

"Nak, apa ibu jual toko buat nutupin kekurangan renovasi rumah, ya? Uang sumbangan dan hasil beberapa dagangan ibu belakangan nggak bisa nutupin kekurangan."

Rasa bersalah itu kembali muncul. Faraz yang mencoba untuk tidak memikirkan terus menerus bahwa ini perbuatannya dan terus menyalahkan dirinya, nyatanya tidak bisa. Mendengar keluhan yang keluar dari mulut ibunya jelas memunculkan rasa bersalah itu kembali.

Three in One FTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang