154 - Edmond Dantès.

768 107 23
                                    

Saat kabut tebal penipuan diri berlalu, kebenaran berdebu tentang wajah tercekik itu akhirnya muncul, tidak tersembunyi.

Fei Chengyu mengikat ujung lain dari cincin logam di leher ramping wanita itu, berjongkok, dan dengan sangat lembut bertanya kepada Fei Du, "Sayang, siapa yang memberimu kode?"

Wajah pucat pasi bocah itu seperti boneka porselen hantu. Ia tampak kehilangan kemampuan untuk berbicara.

Ia sangat pengecut, sangat tidak berdaya, anggota tubuhnya hanyalah hiasan. Ia tidak bisa menggenggam nasibnya sendiri, dan ia juga tidak bisa keluar dari penjara orang lain.

"Apa yang kau dengar?" Tangan beraroma darah Fei Chengyu mengusap rambut bocah itu. "Anak yang baik seharusnya tidak menguping pembicaraan orang dewasa. Aku tahu kau tidak melakukannya dengan sengaja. Kau tidak melakukannya dengan sengaja, kan?"

Fei Du ingat bocah bodoh itu secara naluriah menggelengkan kepala.

Mengapa ia menggelengkan kepala? Fei Du berpikir bahwa jika orang bisa kembali ke masa lalu dan menghadapi masa lalu mereka, hal pertama yang akan ia lakukan adalah mencekik leher bocah itu.

Dari semua perasaan negatif yang mendalam di dunia, kebencian terhadap kepengecutan dan ketidakberdayaanmu selalu yang paling kuat, yang paling menusuk tulang. Itu bahkan sering tidak tertahankan, membuatmu perlu menemukan cara untuk mengalihkannya dan menyalahkan orang lain dan hal lain.

Fei Chengyu melihat gelengan kepala itu dan tersenyum. Menunjuk wanita yang diselimuti pecahan porselen, ia berkata kepada bocah itu, "Seorang anak itu tidak melakukan sesuatu yang salah dengan sengaja. Jika dia melakukannya, dia pasti telah dipancing oleh orang dewasa yang jahat. Haruskah kita menghukumnya, kalau begitu?"

Fei Du tidak berani menatap mata wanita itu, tetapi ia dipaksa untuk melihat. Tatapan wanita itu redup seperti biasanya, mati rasa, seperti mayat. Wanita dengan langkah bersemangat yang menciumnya hari itu tampaknya hanya hasil karya imajinasinya saja.

Fei Chengyu memberi isyarat kepadanya, tetapi Fei Du terus mundur, sampai pria itu menjadi tidak sabar dan menutup cincin logam di leher bocah itu — dua cincin diikat di dua leher. Salah satu ujungnya hanya akan sedikit mengendur saat ujung yang lain mengencang, dan kendali berada di tangan Fei Du yang pucat dan tak berdaya.

Jika ia mengepalkan tinjunya, ia bisa lolos dari rasa tercekik yang tak tertahankan. Dan melalui pelatihan paksa yang tak terhitung jumlahnya, gerakan itu hampir menjadi insting.

Mengapa ia lupa bagaimana ia bisa masuk ke ruang bawah tanah?

Mengapa ia mengaburkan semua ingatannya tentang ibunya?

Mengapa wanita dalam mimpinya selalu penuh dendam?

Mengapa wajah tercekik itu—yang dialihkan ke orang lain—selalu mengganggu tidurnya?

"Fei Du! Fei Du!"

Fei Du gemetaran dengan tidak wajar. Luo Wenzhou mengguncangnya, dan Fei Du tiba-tiba tersadar. Lalu, seolah ada seseorang yang mencekik lehernya, ia batuk sangat keras sampai tidak bisa bernapas.

Luo Wenzhou tidak menyangka bahwa pertanyaannya akan mendapat reaksi yang sebegitu besar. Untuk sesaat ia sangat ketakutan sampai tidak bisa bergerak. Mendengar batuk yang menyayat itu, Luo Wenzhou curiga ia akan memuntahkan paru-parunya. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh tenggorokannya. Tetapi pada sentuhan ringan itu, Fei Du terjingkat dan mendorongnya menjauh, terhuyung beberapa langkah, dan jatuh berlutut di tengah pecahan cangkir teh.

Ada saat di mana Luo Wenzhou merasa ada sebuah bayangan di mata berwarna terang itu, seperti sesosok monster yang sudah tersegel lama, yang melihat darah, dan muncul.

[end] Silent ReadingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang