39 - Humbert Humbert

987 125 29
                                    

Rumah itu sangat besar. Energi manusia yang terbatas tidak bisa meresap, dan itu memancarkan aroma ketidak-hidupan yang kuat.

Itu adalah ketidak-hidupan yang tidak bisa dihilangkan oleh sinar matahari, bunga segar, dan lampu.

Ia berdiri di ruang depan, ragu.

Secara logika, ini seharusnya menjadi rumahnya. Tetapi setiap kali ia menginjakkan kaki di ruang depan yang bersih dan menghadap ke ruangan yang dipenuhi sinar matahari yang masuk melalui jendela yang membentang dari lantai ke langit-langit, ada ketakutan di hatinya.

Musik samar terdengar dari lantai atas, sebuah suara wanita yang merdu berulang kali melantunkan refrain. Ia berdiri sejenak dalam pikiran kosong, seolah ia samar-samar tahu bahwa sesuatu akan terjadi. Ia perlahan mulai berjalan, menuju ke dalam.

Sensasi sinar matahari yang jatuh padanya menjadi aneh, lembab dan dingin; tidak seperti sinar matahari, tetapi seperti angin saat hujan badai. Angin itu menerpa lengan bawahnya, yang tidak tertutup oleh seragam musim panasnya, membuat lapisan bulu roma yang halus berdiri tegak.

Ia naik ke lantai dua. Musik menjadi lebih keras dan semakin keras, melodi yang familier menempel di dadanya seperti tulang ikan yang tersangkut di tenggorokan. Napasnya menjadi sesak, dan ia berhenti, ingin melarikan diri.

Tetapi saat menengok ke belakang, ia menemukan bahwa segala sesuatu di belakangnya telah larut dalam kegelapan; semuanya tampak sudah diperbaiki, ditulis, dan dilatih. Di hadapannya hanya ada satu jalan, satu arah.

Kegelapan menyelimuti dirinya dari semua sisi, memaksanya untuk menaiki tangga sempit, memaksanya untuk membuka pintu itu—

Sebuah gemuruh kencang menggema. Ia mengira ada sesuatu yang meledak di samping telinganya. Kemudian ia memandang ke bawah dan melihat wanita itu jatuh ke lantai.

Lehernya terpelintir dengan sudut yang tidak wajar, dan tubuhnya pucat dan kaku. Tapi matanya terbuka—sepertinya, meski tubuhnya mati, jiwanya tetap hidup.

Wanita itu menatap lurus ke arahnya, dua jejak air mata berdarah mengalir dari matanya. Ia bertanya dengan dingin, "Kenapa kau tidak menyelamatkanku?"

Napasnya tercekat, dan ia mundur.

Wanita itu terhuyung-huyung berdiri dan mengulurkan tangan yang dipenuhi lebam mayat. "Kau bisa merasakan semuanya. Kenapa kau menghindariku? Kenapa kau tidak menyelamatkanku?"

Tangan itu dikelilingi oleh kegelapan yang menelan segalanya. Kegelapan itu tampak hidup, tanpa perasaan menyedotnya. Ia menjerit dan bertanya tanpa henti, berjuang dengan sekuat tenaga mengulurkan tangan untuk meraihnya, tetapi ia terus-menerus ditarik ke dalam kegelapan.

Ia refleks meraih tangan yang dingin dan pucat itu, mendengar jeritan itu, dan merasa bahwa ia jatuh tanpa henti. Tiba-tiba, sesuatu menariknya dari belakang. Punggungnya menempel pada tubuh yang hangat dan kokoh, dan sepasang tangan merangkulnya, lalu naik ke atas menutupi matanya.

Ia mencium aroma samar rokok di tangan yang berbuku jari bersih itu. Kemudian, di celah di antara jari-jari, ada ledakan cahaya—

Fei Du mulai bangun.

Ia sedang duduk di ruang kerjanya sendiri. Mempelajari rencana proyek yang membosankan, ia membaca setengah jalan dan tertidur.

Saat itu hari sudah sore. Angin sejuk penuh kelembapan berembus dari luar jendela. Di beberapa titik, angin dan awan telah naik di luar, dan sebuah badai sedang terjadi. Suara gemuruh dan cahaya berkedip dalam mimpinya adalah guntur dan kilat. Teleponnya berdering tanpa henti, menampilkan tiga panggilan tak terjawab—tidak heran ia mendengar musik itu dalam mimpinya.

[end] Silent ReadingWhere stories live. Discover now