Setelah mengatakan itu Adit segera berlalu karena ada urusan yang lebih penting baginya. Meninggalkan Tania yang menggeram kesal.

"Dokter Tania!"

Tania menoleh saat ada yang memanggilnya.

"Dokter?"

Gibran tersenyum, ia mengulurkan tangannya.

"Saya Gibran, dokter spesialis kanker."

Tania menerima uluran tangan Gibran.
"Tania, spesialis saraf."

"Ada apa sampai dokter Gibran menemui saya?" Tanya Tania heran.

"Saya hanya ingin bertanya, besok jadwal dokter kira-kira padat atau tidak?"

Tania tampak berfikir kemudian mengecek dokumen yang ia ambil dari meja administrasi tadi.

"Sepertinya tidak. Memangnya ada apa dok?"

"Jadi besok salah satu pasien saya ingin berkonsultasi mengenai sel-sel sarafnya. Saya khawatir apa yang saya duga itu benar adanya."

Tania tampak mengangguk, "bisa, nanti bawa saja pasien dokter menemui saya."

"Baik dok, terima kasih dan maaf telah menganggu waktunya. Saya permisi." Ujar Gibran masih dengan senyuman yang merekah di wajahnya.

Tania mengusap tengkuknya, lalu berjalan kembali menuju ruangannya.

•••🌧️•••

Adit mengendarai mobilnya menuju suatu tempat.

Ia telah menyuruh anak buahnya untuk mencari Ana. Dan aalah satu dari mereka telah memberi tahunya bahwa Ana berada di sebuah taman.

BRAK!

Adit keluar dari mobil, menatap ke sekitar taman yang

"Tuan."

Orang suruhan Adit menghampirinya dan menyambut nya.

"Mereka ada di sana tuan." Tunjuk orang itu.

Dengan langkah tegas, Adit menghampiri dua orang yang tengah menikmati kesunyian malam.

"Ana!"

Si pemilik nama menoleh ke asal suara. Adit dapat melihat bahwa tubuh gadis itu memegang, saat melihat kehadirannya.

Namun tubuh yang memegang itu perlahan-lahan rileks karena ada sebuah tangan yang menggenggam nya seolah bahwa ia akan aman bersamanya.

Ana menatap sejenak raut wajah Alvian yang mengeras menatap tajam Papa nya.

"PULANG!" Ujar Adit penuh nada perintah.

"Dia gak akan pulang om!"

Adit menaikkan alisnya. "Memang siapa kamu berani mengambil keputusan?"

"Siapa saya itu gak penting! Karena Ana akan pulang sama saya!"

Ana hanya diam menyaksikan kedua pria yang berbeda umur itu.

Ia dapat melihat nada keseriusan setiap Alvian mengeluarkan ucapannya.

Alvian segera menarik tangan Ana untuk pergi dari tempat itu.

"Ana! Papa bilang pulang!"

Alvian menghentikan langkahnya. Ia menatap Adit dengan tatapan mencemooh.

"Papa? Bukankah di sekolah om mengaku sebagai wali dari murid lain? Heh!"

Ana dapat melihat jelas kilat amarah yang terpancar di mata Adit.

Rintik HujanWhere stories live. Discover now