"Gantengnya Nana ga boleh Cengeng oke"

"Apasih, aku cuma kelilipan" alibi Tian padahal Nana sudah mengetahui penyebab jatuhnya air mata Tian.

"Yaudah ayo pulang"

Tian memasangkan helm di kepala Nana setelah selesai memakaikan helm tersebut Tian beralih memakai helmnya sendiri dan langsung menaiki motor sport kebangganya di ikuti oleh Nana.

Sebelum meninggalkan area Restoran Tian melihat Wanita yang ia lihat tadi tertawa bersama dengan pemuda yang sangat mirip denganya Tian menyalakan mesin motornya hatinya terasa begitu sakit.

Tian melesat meninggalkan area Restoran dengan luka yang sama seperti yang ia dapatkan setiap pulang ke rumah.

Tangan mungil Nana melingkar di pinggang Tian bahkan pelukan yang Nana berikan begitu erat tidak seperti biasanya.

"Aku ingin selalu seperti ini bersamamu Ristian Rakenza Pradipta" gumam Nana yang masih dapat di dengar oleh Tian.

"Aku bahagia yan walupun kamu ngeselin" lanjut Nana.

"Tapi aku akan lebih bahagia lagi jika kamu berhenti mengikuti balap liar yang sangat beresiko itu" ucap Nana yang membuat Tian sedikit terkejut.

"Nana tahu dari mana?" Batin Tian.

"Kamu tahu dari mana?" Tanya Tian dengan suara dinginya.

"Ga penting aku tahu dari siapa yang penting kamu berhenti serta dalam acara balap liar yang berbahaya itu"

"Kenapa? Apa alasanya?"

"Karena itu beresiko banget yan , aku sayang sama kamu jadi pliss, berhenti ya" ucap Nana dengan suara lembutnya.

____________________________

"Dari mana kamu?" Ucap Maya dengan nada yang masih sama seperti biasa, pandangan wanita itu tidak teralihkan.

"Entah dari mana pun Tian, apa peduli mama?" Ucap Tian sembari melirik sang ibu yang sendari tadi memainkan ponselnya.

"Sopankah wahai tuan muda Rakenza?" Suara bariton yang sangat familiar tersebut terdengar begitu jelas Tian menoleh ke belekang tepatnya pada sumber suara.

"Tian cape ma, Tian mau istirahat" pamit Tian sembari berjalan menuju kamar dengan raut wajah yang sama sekali tidak bersahabat.

"Yan" langkah kaki Tian terhenti ketika mendengar suara tegas tersebut.

"Mama mau bicara sama kamu"

"Soal?" Tanya Tian.

"Ikut mama"

Tian mengikuti Langkah kaki Maya dengan wajah masam nan lesunya.

Setelah samapi di ruang kerja Devin,
Tian langsung duduk di sofa berwarna abu-abu yang sudah tersedia di sana.

"Apa sih ma? Tian cape mau istirahat" ucap Tian lesu.

"Tian papa kamu akan mengajiri kamu cara berbisnis karena papa mau setelah kamu lulus sekolah kamu bisa mengelola bisnis papa " ucap Maya sembari menatap putra sulungnya.

"Iya kamu harus bisa Tian" Ucap Kris yang baru saja masuk ke dalam ruang kerja Devin.

"Kenapa tidak Anak kebanggaan mama aja" ucap Tian sembari melirik Maya dengan lirikan yang tidak bersahabat.

"Kris sudah bisa, karena dia itu anak yang cerdas, pintar dan berprestasi" ucap Maya membanggakan putra bungsunya tersebut.

Tangan Tian terkepal sempurna bahkan otot-otot di tangannya tercetak jelas.

"Kamu itu harus bisa seperti Kris, kamu itu harusnya memberikan contoh yang baik buat adik kamu bukannya malah jadi anak ugal-ugalan kaya gini, Mama cape Tian! Mama cape karena kamu selalu membuat mama malu!"

"Ma"

Tian tersenyum smirk sembari melirik mamanya "iya ma iya, seberapa banyak pun prestasi yang Tian dapat seberapa banyak pun penghargaan yang Tian dapat yang terlihat di mata mama hanyalah semua yang di dapatkan oleh anak mama itu! Dan jika mama malu punya anak seperti Tian kenapa mama tidak bunuh Tian waktu Tian masih bayi atau mama buang Tian ke jalanan!"

"Apa mama tidak mikir Tian juga pengen menjadi anak kebanggaan mama seperti Kris! Tapi sekuat apapun Tian mencoba yang terlihat di mata mama hanyalah keburukan Tian!"

"Tian juga cape ma, Tian cape dengan mama yang selalu membanding-bandingkan Tian dengan Anak kesayangan mama itu!"

"Tian juga cape karena sikap ketidak pedulian mama dengan Tian!"

"Tian cape dengan semua ini , bahkan Tian ingin sekali menyerah saat ini juga,karena sekuat apapun Tian berjuang untuk hidup tidak ada gunanya, mama tetap tidak peduli dengan Tian!"

"Permisi" ucap sembari keluar meninggalkan ruangan tersebut dengan luka yang membara hatinya kembali hancur.

BRAAKKK,,,

Tian membanting pintu kamarnya dengan perasaan yang sangat tidak karuhan Ribuan belati seakan berlomba-lomba menyerangnya.

Tubuh Tian meluluh Tian kembali rapuh ia terduduk di lantai kamarnya yang gelap, sunyi nan tenang membuat Tian merasa bebas meluapkan semua bebannya.

Sebuah butiran bening terjatuh tanpa dapat ia cegah, tangan kanan Tian mencengkram kuat dada bagian kirinya rasanya ribuan belati berlomba-lomba menyerangnya rasa sakit yang ia derita selama ini kembali menggerogoti tubuhnya.

Terdengar isakan dari bibir manis Tian matanya tetap terpejamkan dan air mata terus mengalir membasahi pipi gembul yang mulai tirus.

Wajahnya pucat pasi , keringat dingin membanjiri tubuhnya Tian semakin memperkuat cengkrammanya, kepalanya terasa sangat berat seakan ada bebatuan yang menimpanya.

"Sa-akit" gumam Tian dengan nafas yang tersengal-sengal.

Tian semakin kesulitan menghirup oksigen detak jantungnya sudah tidak dapat di kondisikan lagi jantungnya berdetak hebat rasa nyeripun kian menjalar di seluruh inci tubuhnya.

Tian semakin kesulitan bernafas dan Tian sudah berkali-kali memukul dadanya sendiri seranya mengurangi rasa sakitnya.

"Uhuk,,, huekk" Tian terbatuk, seketika bau anyir nan amis tercium.

Tian mengusap sisa darah yang masih tersisa di sudut bibirnya, perlahan tetapi pasti Tian menghirup nafas dalam- dalam dan mengeluarkanya secara perlahan.

Pandanganya mulai buram bahakan dunianya terasa berputar hebat.

"Ma Tian butuh mama" gumam Tian sebelum ia kehilangan kesadaranya.

Welcomback to my story

Jangan lupa votenya





Mistakes In The Past Donde viven las historias. Descúbrelo ahora