XXXIII. Reunion

9.9K 1.2K 31
                                    


Cambridge, Amerika.

6 bulan kemudian

Bicara waktu, maka jawabannya hanya satu. Terbang bagai angin. Tidak peduli di Jakarta maupun Amerika, rasanya baru kemarin tahun berganti dan tiba-tiba mereka sudah tiba di pertengahan tahun. Mulai dari Januari hingga akhir Juni ini, semua tim produksi film dari buku Ara itu bekerja pagi sampai pagi lagi membanting tulang hanya untuk mengejar jadwal syuting mereka hingga dapat terlaksana tepat pada waktunya.

Tanpa disadari, Kira sudah menginjakkan kaki disini, di depan apartemen Jesse, 6 bulan kemudian.

Kira wanita yang sederhana dan sedikit berbeda ketika dikaitkan dengan hubungan. Namun sama seperti mayoritas orang di luar sana, sejak beberapa bulan lalu, ada keinginan kecil di hatinya untuk memberi kejutan pada pria itu. Dan itu membawa ia ke sini, seminggu sebelum hari yang ia katakan pada Jesse.

Selama penerbangannya, Kira hanya tidak sabar melihat bagaimana reaksi Jesse. Ara berdiri di sebelah Kira menatapnya antara kesal dan malas. Dari semua kegiatan yang bisa dilakukannya, semua tempat yang bisa dikunjunginya saat pertama mendarat di negara ini, di kota ini, yang harus ia lakukan adalah bertemu Jesse. Tapi Ara juga selalu ada di sisi Kira, jadi ia tahu bagaimana wanita itu merindukan Jesse. Maka Ara juga tidak punya hati untuk menolak. Lagipula di atas semua itu, yang dirasakannya sekarang murni hanya bahagia dan bahagia. Bukunya akan dijadikan film dan mulai lusa, ia sudah mulai bisa melihat bagaimana proses Gevan menjadi Gitar dan lawan mainnya menjadi Tara. Ara tidak sabar.

Gugup namun semangat, dengan pasti Kira membunyikan bel milik kamar bernomor 182 itu. Cukup lama Kira dan Ara berdiri tanpa jawaban, sampai Dovan membuka pintu dengan muka acak-acakan dan mata menyipit. Dovan kemudian mengusap matanya kasar, merasa ia mulai berhalusinasi. Kira, sepupunya yang seharusnya tidak muncul sampai minggu depan, berdiri dengan cerahnya di depannya. Dovan menggeleng, berpikir ini mungkin efek alkohol yang belum benar-benar hilang dari tubuhnya.

"Heh, gagang pintu, sepupu lo dateng nggak dibiarin masuk?" Kira melambaikan tangannya di depan Dovan yang mematung seperti otaknya berhenti bekerja.

Dovan mengerjapkan matanya, semakin berpikir ia gila. Bayangannya sekarang bisa bersuara.

"Kinira?"

Dovan mengangkat tangannya setengah sadar mencubit kedua pipi Kira kencang sampai Kira meringis, "Sakit tahu! Apaan sih cubit-cubit?!" Kira menepis tangan Dovan kencang.

Dalam sekejap, kantuknya hilang tanpa jejak. Dengan cepat Dovan menarik Kira ke dalam pelukannya, memeluknya sangat erat. Dovan sih, bilangnya saja tidak mau bertemu, nyatanya ia juga sudah rindu setengah mati pada Kira. Ara tersenyum bingung melihat tingkah laku dua manusia di depannya. Ternyata ini sosok Dovan yang sering dimaki Kira dalam ceritanya. Ara tidak menyangka sosok tersebut telihat berjuta kali lipat lebih baik dari yang Kira katakan.

"Sayangnya Dovan! Aduh kangen banget deh..." Dovan bermonolog, menggoyang- goyangkan tubuhnya ke kanan dan kiri sambil memeluk Kira. Meskipun awalnya kesal, Kira mengelus punggung Dovan lembut, memeluk kembali pria jangkung itu. Pria yang lebih berisi dan tentu lebih tampan dari terakhir Kira lihat.

"Kok lo maju seminggu, Ki?" tanya Dovan melepaskan pelukannya, sambil mengulurkan tangannya pada Ara dan memperkenalkan diri sebagai supupu ganteng Kira.

"Emang jadwalnya minggu ini sih. Mau bikin kejutan aja. Jesse mana?" jawab Kira, sebelum kepalanya mengintip sedikit melewati pundak Dovan, melihat apartemen 2 pria itu yang meskipun sudah pagi tapi tampaknya masih gelap gulita.

"Eh, a... anu, masih tidur?" Suara Dovan membangkitkan kecurigaan Kira.

"Kok lo nggak yakin gitu?" Nada interogasi Kira keluar. Raut muka Dovan yang berubah juga tidak membantunya sama sekali.

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now