I. Avoiding Home

32.8K 2.2K 48
                                    


"Your mom called me again..."

Pria dengan rambut hitam keriting yang dibiarkannya berantakan itu mengangkat kepalanya lalu menyipitkan mata ketika sekelabat bayangan hitam dan rasa menusuk muncul di kepalanya.

Jeshiro Melvino, atau biasa disapa Jesse tidak ingat kapan terakhir ia memalingkan mata dari meja kerjanya. Tidak ingat kapan terakhir makan, minum, atau berdiri untuk pergi ke kamar mandi. Ia menghela napasnya, mungkin yang terberat minggu ini.

"Kali ini bilang apa?" Jesse bertanya malas.

Setiap kali ia mengabaikan ponselnya karena pekerjaan yang menumpuk, mamanya akan menghubungi sahabatnya itu, dan untuk pria berumur 26 tahun, itu bukan suatu hal yang membanggakan.

"Biasa. Kapan lo bakal pulang, hari ini udah makan atau belum, lo keluar-keluar apartemen nggak, cukup tidur nggak, ya, semacam itu lah."

"Lo jawab apa?"

"Gue bilang aja, tante anaknya belum mandi udah seminggu, belum keluar apartemen udah dua minggu, belum makan udah dua hari, kerjaannya gambar terus dari pagi sampe pagi lagi."

Jesse menunjukkan kepalan tangannya mendengar jawaban sahabatnya yang sama sekali tidak membuat perasaannya lebih baik. Ibu yang khawatir itu lebih menyeramkan dari apapun.

Mengusak sedikit rambutnya hingga lebih berantakan, Jesse melirik jam dinding dan memasang senyum masam melihat waktu yang ia miliki tidak banyak lagi. Ia berdiri, berjalan ke arah dapur untuk membuat segelas kopi hitam untuk dirinya. Entah gelas keberapa yang masuk ke sistem pencernaannya sejak ia dikejar waktu 2 minggu belakangan ini.

Dovan menggelengkan kepalanya tak percaya melihat kelakuan sahabat karibnya itu. Daripada pria muda tampan berusia 26 tahun, lulusan salah satu universitas terbaik di Amerika, ia lebih terlihat seperti manusia purbakala yang belum keluar dari goa sejak zaman megalitikum berakhir. Dovan berdiri di depan kulkas, mengambil satu botol susu coklat sambil menggaruk kepalanya geli sendiri melihat Jesse.

"Pete's celebrating his birthday later at the bar down the street. The usual. Make sure to put on some decent clothes and take a shower would you?"

"Shit. Is that today?"

"I've been reminding you everyday since three weeks ago. You can't make excuses. I'll see you tonight."

Dovan tidak membiarkan Jesse kembali membalas kata-katanya ketika ia beranjak membuka pintu dan meninggalkan apartemennya.

Jesse mengerang kesal. Di satu sisi ia tahu pekerjaannya harus selesai besok sore. Ia harus memberikan design yang telah dibuatnya sesuai dengan waktu yang dimintanya saat bertemu kliennya pertama kali. Di sisi lainnya, ia tidak mungkin melewatkan ulang tahun salah satu teman terdekatnya, bahkan salah satu teman pertamanya sejak ia sampai di Amerika 8 tahun lalu. Sebelum bertemu Dovan yang juga mahasiswa rantau waktu itu, Pete banyak membantunya. Jesse datang ke Amerika dengan minimnya persiapan. Ia mengajukan beasiswanya di detik-detik terakhir pendaftaran, dan ia sama sekali tidak menyangka akan diterima. Ia datang dengan hati berat meninggalkan ibukota, dan Pete menjadi teman terdekatnya kala itu. Akan sangat mengecewakan jika ia harus melewatkan acara ulang tahun temannya itu.

Sebelum melanjutkan pekerjaannya, yang sekarang harus ia selesaikan dalam waktu lebih sedikit lagi, Jesse meninggalkan satu pesan singkat untuk mamanya, yang belum ia temui sejak 2 tahun lalu saat wanita paruh baya itu datang untuk berlibur ke Amerika. Sederhana, ia meminta mamanya untuk tenang saja. Ia aman. Mungkin sudah lama tidak makan, tapi ia akan baik-baik saja.

Untuk pria 26 tahun yang tinggal berdua dengan sahabatnya di satu apartemen layak huni di tengah kota Cambridge dan sedikit sekali keinginan untuk kembali ke tanah air, bahkan ketika ia tahu pasti akan mendapat tawaran pekerjaan yang lebih menggila di Jakarta, ia baik-baik saja.

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now