IX. A Home to Build

14.1K 1.6K 19
                                    


Alea bergidik melihat anak tengahnya itu duduk merenung di meja makan dengan sepiring nasi goreng yang belum disentuhnya. Lihat saja. Kantung mata yang menghitam, rambut diikat tidak karuan, kacamata dibiarkan menggantung di hidung. Alea sudah tidak melihat Kira sejak anaknya itu jarang berkunjung ke rumah karena pekerjaannya. Dari pagi sampai pagi lagi, rute keseharian Kira hanya lokasi syuting dan apartemennya saja.

Kemarin malam, setelah menghadiri acara rehearsal dinner Ren dan Mirei, anaknya itu berkata akan menginap di rumah. Tidak tahu semeriah apa acara kemarin hingga pagi ini Kira bisa bangun dengan berantakan seperti ini. Kalau begini, Alea saja tidak yakin Kira bisa kelihatan seperti manusia sungguhan di acara pernikahan sahabatnya besok.

Yang Alea perhatikan, dari tadi Kira hanya menghela napas terus, mengeluarkan suara- suara aneh sambil menenggelamkan kepalanya di atas lipatan tangannya. Tadi pagi, saking berantakan suasana hatinya, ia sempat bertengkar dengan adiknya yang masih duduk di tingkat akhir kuliahnya. Gara-garanya sangat sepele, hanya perkara ketukan pintu yang terlalu keras. Padahal memang telinga Kira saja yang sedang kelewat sensitif.

Kira sendiri masih asyik menatap nanar sarapannya. Ia tidak bisa tidur kemarin malam, memikiran pernyataan Jesse yang menurutnya terlalu ambigu. Kalau saja Ara tidak tiba-tiba datang dan menyeretnya untuk pulang, Kira pasti masih menuntut penjelasan tentang Jesse yang berkata bahwa ia tidak pernah kemana-mana. Semalaman penuh, kalimat itu bersemayam nyaman di otaknya. Ia merem sedikit, bayangan Jesse ngomong begitu dengan santainya selalu muncul. Alhasil ia mengurungkan niatnya untuk istirahat dan berdiam diri semalaman tanpa menutup mata. Jelas saja pagi ini badannya serasa tak bisa dikontrol saking lemasnya. Sudah banyak kerjaan, sekarang ditambah Jesse yang memaksanya berpikir.

"Kesambet apa sih kamu, Ki?" Alea bertanya sembari menuangkan satu gelas teh manis panas untuk Kira. Yang ditanya hanya menggeleng, enggan berkomentar.

"Muka apa muka tuh? Lusuh amat kayak kertas bekas." Adik bungsu Kira menimbrungkan dirinya dalam pembicaraan pagi itu. Kira mendelik lalu bergerak melempar sendok plastik bersih di dekatnya tepat mengenai kepala adiknya.

"Berangkat udah sana."

"Lo tuh, udah tua juga, masih aja galau kayak remaja."

"Na, berisik. Nggak gua kasih uang jajan tambahan lagi baru tahu rasa lo ya."

"Ya tinggal minta Bang Jovan."

Rena membuat emosi Kira bangkit lagi. Setelah mendengar nama kakak tertuanya disebut, Kira sudah hampir melempar satu sendok lagi kalau saja Alea tidak menghentikan tingkah kekanakannya.

"Aduh, kalian tuh. Berantem terus dari masih ingusan, kapan berhentinya sih ah? Udah, berangkat sana kamu, Na. Tadi katanya kelas pagi. Gilang udah di depan tadi mama liat," ujar Alea, memijat pelipisnya pelan melihat tingkah kedua anaknya yang belum juga berubah.

Mata Rena berbinar mendengar nama pacarnya itu disebut, lalu beranjak mencium pipi mamanya untuk pamit.

Rena ganti mencium pipi Kira sebelum pergi, "Dadah kakak jomblo yang paling cantik. Jangan potong uang jajan tambahan gue ya..."

Kira menatap adiknya datar sebelum Rena menghilang di pintu masuk, menyisakan Kira, Alea dan sepiring nasi gorengnya. Alea mengelus sayang kepala Kira sebentar sebelum pamit ke belakang untuk menjalankan hobinya mengurus tanaman. Mamanya tinggal berdua dengan Rena. Ayahnya sudah meninggal 2 tahun lalu. Biasanya, setiap akhir pekan, Kira dan Jovan akan bergantian menginap di rumah, meskipun kebanyakan waktu Kira yang menginap karena Jovan juga sudah berkeluarga.

Setelah lulus kuliah dulu, orangtuanya menghadiahkan Kira apartemen kecil di tengah kota. Ketika ia mulai dilanda dengan berbagai macam kesibukan dan tuntutan pekerjaan, intensitasnya pulang ke rumah berkurang drastis. Namun Alea mengerti. Dan ia malah lebih senang karena anaknya dapat dengan mudah menghidupi dan mengurus kehidupannya sendiri, sehingga Alea tidak perlu lagi khawatir. Bahkan Jovan dan Kira sudah menggantikan bebannya menanggung urusan sekolah Rena, sehingga Alea tinggal menikmati hidupnya saja, seperti yang kedua anaknya itu inginkan.

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now