XXIV. Long Distance Thing

10.3K 1.1K 15
                                    


"Produser yang minggu lalu ngehubungin lo, belum ada kabar lagi?" Kira bertanya gusar, berharap kali ini jawaban Ara akan berbeda.

Ara membalasnya dengan decakan malas. Setiap menghubunginya atau bertemu dengannya, cuma ini yang akan ditanya Kira. Bukan kabarnya atau bagaimana harinya atau sedang sibuk apa. Ara tidak mempermasalahkan niat baik Kira yang peduli mengenai kelanjutan film yang akan diangkat dari bukunya, namun lama-lama ia bosan juga ditanya seperti itu. Ia juga sedang berusaha sabar menunggu kabar lebih lanjut dari produser yang berjanji akan menghubunginya dalam waktu dekat ini, namun desakan Kira membuat bersabar menjadi lebih sulit dari seharusnya.

"Sabar sih, Ki. Ini buku gue, kenapa jadi lo yang ngebet banget?" Ara menatap Kira geli.

Kira menumpukan kepala di tangannya, menghela napas. Buku Ara adalah tiketnya mengunjungi Jesse. Ia bisa saja pergi ke Amerika menggunakan tabungannya untuk beberapa minggu, tapi tentunya akan jauh lebih menguntungkan untuk pergi dalam waktu dekat ini untuk menjalankan syuting film Ara. Harusnya begitu, kalau saja ada setidaknya satu produser yang sudah bicara dengan Ara yang menghubunginya lagi.

2 bulan sudah berlalu sejak kembalinya Jesse ke Amerika. Selama 2 bulan itu jugalah, Kira merasakan yang orang bilang dengan beratnya hubungan jarak jauh. Selain video call dan berkirim pesan tiap waktu, tidak ada yang bisa dilakukan Kira dan Jesse. Mereka tidak bisa makan siang bersama atau pergi kencan di akhir pekan. Jangankan begitu, kadang saja Jesse baru melihat lebih dari 5 panggilan masuk beberapa jam setelah Kira meninggalkannya. Pacaran rasa tidak punya pacar. Andai saja Kira seorang produser, sudah ia garap semua buku yang berlatar Amerika.

"Aduh pengin banget dateng, Ki..." rengek Ara begitu melihat Kira berganti pakaian dengan kaos hitam bertuliskan judul film yang disutradarainya dengan padanan celana kain hitam juga.

"Tapi nanti nyokap nggak ada yang nemenin. Yang lain pada datang kan?" lanjutnya.

"Yang bisa cuma Vey sama Mirei. Tisha ada urusan apa gitu lupa gue. Nonton lain kali lah, Ra. Bilang tante cepat sembuh ya..."

Ara mengangguk pasti.

Mendengar bel apartemennya yang berbunyi, Kira buru-buru memasukkan segala jenis barang ke dalam tasnya tanpa melihatnya lagi hingga tas selempang kecilnya penuh hampir tak bisa ditutup.

Setelah satu kali lagi membubuhkan rona merah di kedua pipinya tipis, Kira mengingatkan Ara untuk memastikan pintu apartemennya terkunci sebelum meninggalkannya nanti. Dengan itu, Kira berlalu bersama asistennya yang hari ini menjemputnya untuk menuju salah satu bioskop di daerah Senayan, tempat premier pertama filmya akan digelar.

Salah satu bagian yang paling disukai Kira tentang menjadi sutradara adalah menyaksikan filmnya tayang untuk pertama kali. Ia senang melihat hasil karyanya berhasil ia selesaikan dan ia senang berjabat tangan dengan orang-orang yang hadir serta mendengar pujian mereka. Bagi Kira, seburuk apapun hasilnya, ia akan tetap bangga. Karena bagi sebuah film untuk bisa tayang saja sudah merupakan keberhasilan besar sutradaranya. Masalah rating biasa Kira pikirkan belakangan.

Senyum sumringah tidak henti-hentinya terpatri di wajah segar Kira. Ketika kakinya melangkah memasukki gedung bioskop dan melihat poster serta keadaan yang sudah ramai, hatinya lega sekali. Satu lagi sudah ia jalani. Hasil bangun pagi tidur paginya selama beberapa bulan terakhir ini sudah terpampang nyata di hadapannya. Dengan semangat, Kira melangkahkan kakinya untuk berdiri sejajar dengan produser dan beberapa artis yang menjadi bintang utamanya. Penonton dari segala usia hadir malam itu, tapi persis dugaannya, kalangan remaja menjadi penggandrung utama karyanya yang satu ini. Kebanyakan wanita paruh baya yang hadir mungkin ada karena paksaan anaknya untuk mengantarkannya.

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now