VIII. Heartfelt Honesty

13K 1.8K 66
                                    


Kira menghampiri Jesse yang asyik dengan dunianya sendiri sejak acara berakhir malam itu. Kebanyakan tamu sudah pulang, menyisakan kurang dari seperempat ruangan. Kira sebenarnya sudah memerhatikan Jesse dari pria itu menginjakkan kakinya dalam ruangan itu. Saat Jesse muncul tadi, Kira menertawakan dirinya sendiri yang tidak menyadari bahwa sejak dulu Jesse memang setampan itu.

Kira tersenyum ramah pada pria itu, lalu mengambil sisa satu gelas yang tersedia di atas meja, berniat meminumnya, sebelum Jesse mengambilnya dari tangan Kira.

"Ada sodanya," ujar Jesse, tanpa nada. Ia lalu berdiri dan mengambil minuman yang ada di meja sudut ruangan dan menyerahkannya pada Kira. "Iced tea."

Kira masih belum sepenuhnya mencerna apa yang terjadi namun lantas mengambil gelas yang disodorkan oleh Jesse. Kira terenyuh. Jesse masih mengingat hal terkecil darinya. Meskipun Jesse melakukannya dengan wajah tanpa ekspresi, hati Kira tetap menghangat mengetahui bahwa bahkan setelah 8 tahun, ada bagian dari dirinya yang belum Jesse lupakan.

Kira meminum minumannya pelan. Keduanya dilanda hening. Sesaat kemudian, Jesse meninggalkan Kira untuk pergi ke toilet. Lagi. Belum lama pergi, ponselnya yang ketinggalan menandakan adanya satu panggilan masuk. Kira tidak bermaksud mengintip, namun tidak sengaja membaca nama yang tertera di layar ponsel Jesse. Dana. Kira tersenyum kecut. Benar juga. Setampan, sepintar dan sebaik Jesse, mana mungkin sih masih sendiri. Kira besar kepala sekali, menganggap Jesse masih terlalu sulit melupakannya untuk menemukan tambatan hati yang baru.

"Pulang sama siapa, Ki?" tanya Jesse yang tiba-tiba muncul, mengambil posisi duduk lagi di sebelah Kira.

"Sama Ara paling, tapi nggak tahu deh tadi dia ke mana," jawab Kira jujur. Setelah tadi mengiakan permintaan Kira untuk mengantarnya pulang, Ara malah menghilang bagai angin. Hobi sekali sahabatnya yang satu itu menghilang.

Jesse tidak menjawab lagi dan beralih pada satu panggilan tidak terjawab di ponselnya. Kira curi-curi melihat hal itu, membayangkan Jesse yang sedang mengabari Dana. Pikiran Kira sudah kemana-mana. Mungkin Dana bertanya Jesse sedang apa, atau mungkin mereka memang rutin menghubungi satu sama lain, mungkin Dana bilang ia rindu Jesse.

Tanpa sadar, Kira menggeleng-gelengkan kepalanya, membuat Jesse bingung sendiri.

"Kamu kenapa?" tanya Jesse, meletakkan kembali benda kotak itu di saku jas.

"Eh? Nggak apa-apa kok," sahut Kira gugup. Pasti ia sudah seperti orang gila tadi.

"Mau dianterin pulang?" tawar Jesse lagi. Mulut dan otaknya benar-benar tidak sinkron.

Dari tadi ia sudah menahan diri agar tidak menawarkan tebengan, mulutnya malah mengkhianatinya. Kira menggeleng.

"Nggak usah, Je. Kalau mau pulang, pulang duluan aja. Paling bentar lagi Ara muncul."

"Takut ngerepotin lagi?" Jesse menatap Kira.

Untuk sepersekian detik, Kira lupa kakinya masih menapak pada tanah. Ia tidak ingat Jesse punya tatapan sesejuk itu, atau mungkin ia memang tidak pernah tahu. Berpapasan dengan Jesse saja dulu dia ogah, apalagi menatap matanya. Warna matanya coklat gelap. Kadang, Kira bisa merasa tatapan Jesse dingin sekali, namun tak jarang sangat menenangkan.

Kira mengangguk, menjawab pertanyaan Jesse.

"Ki, saya mau tanya boleh?" tanya Jesse. Jantung Kira berdebar sepuluh kali lebih cepat dari sebelumnya. Wajah Jesse terlampau serius untuk pertanyaan yang biasa saja.

"Tadi kamu bilang, kamu menyia-nyiakan orang yang sayang banget sama kamu, karena kamu pikir dia nggak akan kemana-mana. Kenapa bisa mikir gitu? Kenapa yakin banget saya nggak akan kemana-mana?"

Kira tidak butuh waktu banyak untuk menjawab pertanyaan Jesse yang satu ini.

"Karena... lo selalu ada di sana, Je. Karena di mana pun gue, lo nggak pernah jauh. Bodoh, dan terlalu percaya diri emang, tapi waktu dulu gue marah sama lo dan bilang gue nggak mau ketemu lagi sama lo seumur hidup, gue nggak takut lo pergi. Karena gue kira, sejahat apapun gue waktu itu, lo tetap akan ada di situ. Gue kira lo nggak akan kemana-mana. Gue kira bagi lo, itu cuma satu cercaan biasa gue yang lainnya. Gue kira apapun yang gue bilang waktu itu, besoknya lo bakal tetap hubungin gue, ngingetin gue buat bahagia dan nanya gue udah sarapan atau belum."

Jesse diam. Menunduk menatap kedua kakinya yang terbungkus sepatu hitam. Ia sama sekali tidak menduga jawaban Kira. Seingat Jesse, Kira tidak menyentuh satu gelas alkohol pun malam ini, jadi seharusnya gadis itu tahu benar apa yang dibicarakannya.

Kira ragu, namun melihat Jesse yang tidak memberikan respon apapun, ia rasa ini saat yang paling tepat untuk bicara.

"Tapi besoknya lo ngirimin gue pesan yang bilang 'Kira, maaf belum sempurna. Bahagia ya?' Je... you have no idea how that message haunted me for years. Satu-satunya waktu di mana gue berharap lo tinggal, you didn't."

"Kenapa nggak berusaha hubungin saya buat minta maaf?"

"Karena gue nggak mau egois. Lo tahu apa yang terbaik buat diri lo sendiri. Gue nggak berhak, Je, nentuin lo mau ke mana. I simply don't deserve you."

"Kira, setelah saya pergi, yang saya mau cuma buat kamu ngirim pesan singkat yang bilang kamu minta maaf. Kamu egois, benar. Kamu egois dengan biarin saya ngehabisin delapan tahun tanpa tahu kamu semenyesal apa. Kamu... nggak minta maaf karena kamu pikir kalau kamu minta maaf, saya akan buang beasiswa saya di Amerika dan lari balik ke kamu kan? Kamu ngerasa nggak pantas buat minta maaf dan bikin saya ngelakuin itu. Kamu nggak bilang pun saya ngerti. Tapi dunia nggak berpusat sama kamu, Kinira. Gimana bisa minta maaf kamu bilang egois?"

Kira termenung. Perkataan Jesse sangat menyakitkan. Rasanya menyelekit sampai ke dasar hatinya. Entah untuk kali yang keberapa minggu ini, ia berusaha tidak menangis di hadapan Jesse, "Ini cara lo bales dendam ya?"

Jesse tersenyum. "Saya nggak punya alasan buat balas dendam, Ki. Saya bisa dapat beasiswa di Amerika karena kamu. Saya punya kehidupan yang layak di Amerika, karena kamu. Saya ada di posisi saya sekarang ini, juga karena kamu. Bahkan saat kamu nggak sadar, saat kamu nggak berniat dan saat kamu nyakitin saya, you still seem to always take good parts in my life. Saya sakit hati, sampai sekarang, benar. Dan saya nggak lupa semuanya, benar. Tapi kamu juga benar, Kira. Sejauh apapun saya pergi, saya nggak pernah kemana-mana."

L.I.N.G.E.R

Selamat malam Minggu!

LINGER (Completed) Where stories live. Discover now