XXI. And He Left

10.8K 1.2K 0
                                    


Sejak meninggalkan Jesse di bandara hampir 2 jam yang lalu, Kira tidak henti-hentinya mengecek ponsel dan mematikannya lagi kala tidak juga ada berita dari Jesse yang mengatakan ia sudah akan naik ke pesawat atau seputar itu. Mungkin lupa, pikir Kira.

Seharusnya pesawat Jesse sudah lepas landas, dan itu berarti Kira tidak akan mendapatkan pesan apapun dari Jesse sampai setidaknya esok hari. Kira mendengus, menyadari tenaganya terkuras karena pikirannya sendiri.

Perpisahannya tadi bisa dibilang tidak terlalu emosional, jika mengesampingkan Mirei yang menangis kencang seperti tidak akan melihat Jesse lagi. Sebelum Jesse memutar badannya, Kira dapat merasakan sedikit keraguan pria itu harus meninggalkan mamanya sendiri lagi, namun Kira sudah berkata pada Jesse untuk tenang saja, karena setelah pertemuannya tadi siang dengan mama Jesse berjalan baik, Kira meyakinkan Jesse akan sering-sering menemani mamanya. Entah bagaimana ia akan melakukan itu di tengah kesibukannya.

Tangan Kira mendorong pintu masuk rumahnya. Tengah malam begini, mama dan adiknya pasti sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Kira juga tidak mengabari sebelumnya bahwa ia akan pulang ke rumah, bahkan sebenarnya ia tidak mempunyai rencana untuk pulang. Hanya saja ia sedang tidak ingin sendiri. Kalau ia sendirian, ia akan lebih banyak memikirkan Jesse dan akan merasa lebih sedih dari yang sudah ia rasakan. Untung saja ia membawa kunci cadangan miliknya.

Kira berhenti melangkah lantaran mendengar suara adiknya masih bangun. Kira mendorong pintu kamar Rena tanpa berpikir lagi, tahu adik bungsunya itu tidak pernah mengunci pintu kamarnya. Kira menatap datar adiknya yang sedang asyik bicara sambil berkutat dengan tugas kuliahnya namun sekarang sudah memutar badannya dramatis dan melotot ketika mendengar pintu kamarnya sedikit terbanting. Ia sudah hampir berteriak maling jika saja tidak menyadari wajah Kira yang terlihat menyedihkan itu. Rena tidak habis pikir lagi sama Kira. Muncul tengah malam dan seenaknya mendobrak pintu kamar orang, lalu naik dan meringkuk di atas kasur milik Rena tanpa bicara satu kata pun. Rena sudah lupa rasanya tinggal bersama dengan Kira, namun sekarang ia jadi ingat lagi alasannya berteriak senang ketika kakaknya itu sudah cukup berpenghasilan untuk tinggal sendiri.

Rena menarik kasar selimut yang digunakan Kira menutupi seluruh tubuh hingga wajahnya, "Kak! Ngapain sih?"

Kira hanya diam dan menarik lagi selimut di tangan Rena. Ia tidak mood berdebat.

"Tidur di sebelah, ih. Kenapa juga tiba-tiba pulang?" Tidak mau kalah, Rena menarik lagi selimut dari Kira.

Yang lebih tua memejamkan matanya sabar. Sepertinya mengganggu Rena malam ini merupakan keputusan yang salah, karena melihat adiknya ini sekarang ia malah semakin ingin meninggalkan Jakarta dan mengikuti Jesse ke Amerika. Kira memerhatikan Rena dari atas sampai bawah. Adik siapa ini kurang ajar sekali?

"Kamu lagi telepon sama Gilang kan? Udah lanjutin aja, nggak usah peduliin kakak," ujar Kira tidak mau tahu lagi, kemudian membalikkan badannya memunggungi Rena yang menganga tidak percaya dengan kelakuan absurdnya.

Kira sih mungkin tidak peduli dengan apa yang akan Rena lakukan, tapi Rena juga kan tidak nyaman bicara dengan pacarnya di depan Kira. Rena berdecak kemudian mengucapkan maaf pada Gilang karena adanya perusak suasana sebelum akhirnya menutup panggilannya dengan Gilang dan membiarkan Kira menyamankan diri di kasurnya.

Rena menutup laptop-nya asal sudah tidak punya keinginan lagi untuk mengerjakan tugas kemudian mematikan lampu kamarnya dan merebahkan dirinya di sebelah Kira, setelah sedikit mendorong badan kakaknya yang mengundang tatapan tajam darinya.

"Tumben pulang nggak bilang-bilang. Ada masalah?"

Kira memainkan jarinya memikirkan apakah lebih baik bercerita pada Rena atau tidak. Ia tidak ingin karena tahu adiknya pasti akan menjadikan ini ejekan untuk beberapa tahun ke depan bahkan mungkin sampai seumur hidupnya. Di sisi yang lain, berbicara dengan Rena selalu membuatnya merasa lebih baik. Selalu seperti itu dari dulu. Rena menyebalkan, dan sedikit kekanakan, namun ia pendengar yang baik. Meskipun suka keluar jalur, Rena juga selalu memiliki masukan dan saran yang baik. Mereka tidak selalu akur. Jovan dan Alea saja kadang malas jika harus berada satu tempat dengan mereka karena tahu sewaktu-waktu bisa adu mulut hanya karena sesuatu yang sangat sepele. Tapi Kira sangat menyayangi Rena, sangat peduli dengan Rena, dan pasti mencari Rena jika gadis itu tak membalas pesan atau mengangkat teleponnya. Kira juga sebisa mungkin menghampiri Rena minimal seminggu 2 kali, dengan pulang atau menjemputnya di kampus dan mengajaknya pergi. Rena juga begitu. Meskipun selalu naik pitam jika sudah bicara dengan kakaknya, kalau Kira tidak kelihatan atau tidak memberi kabar, ia suka kelimpungan sendiri, bertanya sana-sini.

LINGER (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang